Efek Hormon Kortisol

a.       Efek Kortisol terhadap Metabolisme Karbohidrat
a)     Peningkatan Glukoneogenesis
Kortisol meningkatkan proses glukoneogenesis. Keadaan ini terutama disebabkan karena kortisol meningkatkan ekspresi gen dari sintesis protein enzim-enzim yang berperan dalam proses glukoneogenesis. Salah satu efek peningkatan glukoneogenesis ini adalah sangat meningkatnya jumlah penyimpanan glikogen dalam sel-sel hati. Hal ini kemudian memicu hormon lain yakni hormon glikolitik seperti epinefrin dan glukagon memobilisasi glukosa ke seluruh tubuh seperti pada keadaan di antara makan.

b)      Penurunan Pemakaian Glukosa oleh Sel
Penyebab penurunan pemakaian glukosa oleh sel ini masih belum diketahui secara pasti. Namun menurut Guyton dan Hall (2014), hal ini diduga karena kortisol menekan proses oksidasi NADH untuk menjadi NAD+.  Selain itu kortisol juga meningkatkan resistensi insulin pada beberapa tempat terutama pada bagian subcutaneous adiposity sehingga glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel karena reseptor GLUT 4 tidak dapat muncul ke membran sel.
c)      Peningkatan Glukosa Darah (Diabetes Adrenal)
Peningkatan glukoneogenesis dan berkurangnya kecepatan pemakaian glukosa oleh sel dapat meningkatkan konsentrasi glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa darah ini pada awalnya merangsang sekresi insulin. Walaupun begitu, kadar insulin yang dihasilkan tidak cukup untuk mengubah glukosa yang telah beredar dalam darah. Sehingga pankreas memforsir diri untuk memproduksi insulin lebih banyak. Apabila keadaan ini terus berlangsung, lama-kelamaan kinerja pankreas menjadi menurun. Bisa jadi pankreas menjadi rusak atau malah kualitas insulin yang dihasilkan menurun sehingga insulin menjadi tidak sensitif dan tidak bisa berikatan dengan reseptornya (resistensi insulin seperti yang dijelaskan pada point sebelumnya). Karena mirip dengan diabetes maka peristiwa ini sering disebut Diabetes Adrenal. 



b.      Efek Kortisol terhadap Metabolisme Protein
a)      Pengurangan Protein Sel
Hal ini terjadi karena kortisol meingkatkan proses glukoneogenesis, di mana protein-protein dipecah menjadi asam amino kemudian diubah menjadi glukosa di dalam darah.
b)      Peningkatan Protein Hati dan Protein Plasma
Berbeda dengan kondisi protein sel yang terus dipecah, di dalam hati justru terjadi peningkatan sintesis protein. Sintesis protein di dalam hati menghasilkan protein plasma yang selanjutnya dilepaskan ke dalam darah. Belum ada penelitian pasti mengenai kejadian ini, tetapi diduga bahwa pemecahan protein sel (yang dijelaskan pada point sebelumnya) menyebabkan mobilisasi asam amino menuju hati menjadi meningkat. Selain itu, kortisol juga diduga meningkatkan ekspresi gen tertentu di dalam hati sehingga meningkatkan produksi enzim terkait pembentukan proses pembentukan protein plasma.

c.       Efek Kortisol terhadap Metabolisme Lemak
                                               


Kortisol meningkatkan mobilisasi asam lemak dari jaringan lemak subkutan menuju jaringan lemak abdominal. Peningkatan mobilisasi asam lemak dari jaringan subkutan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan beta oksidasi asam lemak. Berkurangnya pengangkutan glukosa ke dalam sel lemak menyebabkan tubuh merasa bahwa ia perlu energi ekstra. Energi ekstra tersebut berasal dari pemecahan lemak (lipolisis). Pemecahan ini terjadi karena sel lemak tidak dapat mempertahankan dan menyimpan trigliserida di dalam sel disebabkan tidak adanya α-gliserofosfat yang berperan dalam proses ini.  α-gliserofosfat merupakan molekul yang berasal dari glukosa. Oleh karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam jaringan sel, α-gliserofosfat tidak bisa dibentuk, sehingga proses untuk mempertahankan dan menyimpan trigliserida di dalam sel lemak tidak dapat lakukan. Lemak akan mulai terpecah menjadi asam lemak. Asam lemak ini nantinya terbawa oleh darah menuju daerah abdominal adiposity. Yang selanjutnya asam lemak ini kembali diubah menjadi lemak pada daerah ini. Inilah yang menyebabkan penderita Cushing syndrome dan Cushing Disease menderita obesiatas sentral. Penelitian mendalam masih dilakukan untuk meneliti mekanisme lebih detil mengenai proses ini.

d.      Efek Kortisol terhadap Inflamasi
Bila jaringan rusak akibat trauma, infeksi bakteri, atau peristiwa lain, maka jaringan itu hamper selalu “meradang”, Guyton dan Hall (2014). Pada dasarnya ada lima tahap utama terjadinya inflamasi :
1.      Sel-sel yang rusak melepaskan zat-zat kimia misal enzim proteolitik, prostaglandin, leukotrien, dan lain-lain sehingga mengaktifkan proses inflamasi.
2.      Meningkatkan aliran darah pada sel yang meradang sebagai respons dari zat-zat kimia yang dilepaskan tadi atau disebut sebagai proses eritema.
3.      Meningkatnya permeabilitas kapiler yang menyebabkan infiltrasi plasma sehingga terjadi proses pembekuan cairan jaringan. Akibatnya timbul nonpitting edema.
4.      Infiltrasi leukosit.
5.      Pertumbuhan jaringan fibrosa dan penyembuhan jaringan.

Kortisol menghambat proses inflamasi dengan cara :
1.        Menstabilkan membrane lisosom sehingga enzim proteolitik dan zat-zat yang mengaktifasi proses inflamasi tidak dapat dilepaskan.
2.        Menurunkan permeabilitas kapiler.
3.        Menurunkan migrasi atau motilitas dari leukosit.
4.        Menurunkan produksi sel limfosit sehingga jumlah antibodi berkurang untuk mencegah proses inflamasi lebih lanjut.
5.        Menurunkan demam dengan cara mengurangi pelepasan interleukin-1 dari sel darah.
e.       Efek Kortisol terhadap Sistem Imun
Kortisol juga bekerja merangsang respons hormon lain seperti hormone katekolamin. Selain itu melalui mekanisme glukoneogenesis, kortisol memungkinkan tubuh mempertahankan suhunya dan responsnya terhadap stress.
Dalam jumlah besar, kortisol menyebabkan atrofi (karena proses pemecahan protein sel) sehingga menyebabkan sel T dan antibodi sulit untuk dikeluarkan dari jaringan limfoid. Akibatnya kekebalan tubuh terhadap infeksi berkurang. Tetapi pada tindakan transplantasi organ, efek ini justru berguna untuk mencegah terjadinya penolakan terhadap organ yang ditransplan.
Melalui mekanisme yang belum jelas, kortisol juga meningkatkan produksi sel-sel darah merah. Kortisol yang berlebihan dapat menimbulkan polisistemia sedangkan apabila terlalu kurang maka akan menimbulkan anemia.

f.       Efek Kortisol terhadap Metabolisme Vitamin D

Peran utama vitamin D adalah untuk mempertahankan kalsium dan fosfor homeostasis, sehingga menjaga kesehatan tulang. Namun, bukti-bukti baru-baru ini telah menunjukkan bahwa vitamin D juga dapat berperan dalam berbagai gangguan nonskeletal seperti penyakit endokrin dan diabetes tipe 1 khususnya, diabetes tipe 2, penyakit adrenal, dan sindrom ovarium polikistik. Meskipun hasil kontroversial di sebuah asosiasi kadar vitamin D rendah dengan kortisol dan aldosteron berlebihan, mendorong temuan in vitro telah dilaporkan pada efek vitamin D pada sel kanker adrenocortical. Fokus dari kajian ini adalah peran vitamin D dalam penyakit adrenal dan hasil penelitian suplementasi vitamin D pada pasien. Meskipun banyak penelitian mendukung peran menguntungkan vitamin D pada penyakit adrenal, percobaan terkontrol acak dan studi mekanistik wajib memberikan wawasan yang lebih dalam efikasi dan keamanan vitamin D sebagai alat terapi.


Daftar Pustaka
Greenstein B dan Wood DF. 2010. At a Glance Sistem Endokrin (edisi kedua). Alih bahasa : Yasmine E dan Rachmawati AD. Jakarta : Penerbit Erlangga

Hall JE dan Guyton AC. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (edisi keduabelas). Jakarta : Saunders Elsavier
Nussey S dan Whitehead S. 2001. Endocrinology : An Integrated Approach (e-book). Oxford : BIOS Scientific Publishers Limited. Diakses tanggal 20 Februari 2017. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK26/?report=reader#!po=17.9245
Sherwood, Lauralee (2001) .Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Jilid 3). 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Comments

Popular posts from this blog

Manfaat Limit Dalam Kehidupan Sehari-hari

Pakaian Adat Jawa Tengah Pria

Laporan Praktikum Tingkat Reaksi