Psoriasis Vulgaris

  1. DEFINISI

Psoriasis adalah penyakit autoimun bersifat kronik dan residif dengan tanda bercak-bercak eritema batas tegas disertai skuama berlapis dan transparan. Hal ini terjadi karena adanya percepatan pertukaran sel epidermis atau proses keratinisasi yang lebih cepat. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit kulit inflamasi kronis residif yang dicirikan oleh lesi berupa plak eritema yang ditutupi oleh skuama tebal, kasar, kering berwarna putih keperakan pada area predileksi seperti ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral bagian bawah, bokong dan genitalia. Selain tempat-tempat tersebut lesi juga dapat dijumpai pada umbilikus dan ruang intergluteal.1

 

  1. INSIDENSI

Psoriasis terjadi di seluruh dunia, dan prevalensinya bervariasi. Di Amerika Serikat, sekitar 2% dari populasi terpengaruh. Tingginya tingkat psoriasis telah dilaporkan di Kepulauan Faroe. Prevalensi psoriasis rendah di Jepang dan mungkin tidak ada pada orang Aborigin Australia dan India dari Amerika Selatan. Psoriasis dapat muncul pada semua usia. Usia rata-rata onset untuk presentasi psoriasis pertama dapat berkisar antara 15 hingga 20 tahun, dengan puncak kedua terjadi pada 55 hingga 60 tahun.2

 

  1. PATOGENESIS

Pola pewarisan psoriasis masih belum sepenuhnya dipahami, telah banyak penelitian menemukan adanya bukti akan keterlibatan faktor genetik pada terjadinya psoriasis. Psoriasis terjadi pada 50% saudara kandung penderita psoriasis dengan kedua orang tua yang juga menderita psoriasis. Tujuh puluh satu persen penderita psoriasis usia anak memiliki riwayat keluarga positif akan psoriasis. Tingginya angka prevalensi psoriasis pada kembar monozigot, yaitu 70% sementara kembar dizigot 20% juga mendukung konsep predisposisi genetik.3 Diduga adanya keterkaitan faktor genetik dengan beberapa lokus gen yaitu PSORS1, PSORS2, PSORS3, PSORS4, PSORS5, PSORS6, PSORS7, PSORS8 dan PSORS9. Diantara lokus gen suseptibel psoriasis tersebut didapatkan hubungan yang paling kuat dengan insiden psoriasis adalah PSORS1.4 Faktor lingkungan memegang peranan penting terjadinya psoriasis. Pencetus dari lingkungan antara lain infeksi (streptokokus, stapilokokus dan human immunodeficiency virus), stress, obat-obatan (litium, beta blockers, anti malaria, obat antiinflamasi non steroid, tetrasiklin, angiotensin converting enzyme inhibitors, calcium channel blockers, kalium iodida), trauma fisik, paparan sinar ultraviolet, faktor metabolik (pubertas, kehamilan), merokok dan konsumsi alkohol yang berlebihan.1,5 

Ciri khas psoriasis adalah peradangan berkelanjutan yang menyebabkan proliferasi keratinosit yang tidak terkontrol dan diferensiasi disfungsional. Histologi plak psoriasis menunjukkan akantosis (hiperplasia epidermal), yang menutupi infiltrat inflamasi yang terdiri dari sel dendritik dermal, makrofag, sel T, dan neutrofil (Gambar ).6 

Gangguan pada respon imun kulit bawaan dan adaptif bertanggung jawab dalam pengembangan dan kelangsungan inflamasi psoriasis. Aktivasi sistem kekebalan bawaan yang didorong oleh sinyal bahaya endogen dan sitokin secara khas hidup berdampingan dengan pengabadian autoinflamasi pada beberapa pasien, dan reaksi autoimun yang digerakkan oleh sel T pada orang lain. Dengan demikian, psoriasis menunjukkan ciri-ciri penyakit autoimun pada latar belakang inflamasi (auto), dengan kedua mekanisme yang tumpang tindih dan bahkan saling mempotensiasi. Temuan klinis utama pada psoriasis terlihat jelas pada lapisan terluar kulit, yang terdiri dari keratinosit. Namun, perkembangan plak psoriasis tidak terbatas pada peradangan pada lapisan epidermis, melainkan dibentuk oleh interaksi keratinosit dengan berbagai jenis sel (sel imun bawaan dan adaptif, pembuluh darah) yang mencakup lapisan dermal kulit. Patogenesis psoriasis dapat dikonseptualisasikan ke dalam fase inisiasi yang mungkin dipicu oleh trauma (fenomena Koebner), infeksi, atau obat-obatan dan fase pemeliharaan yang ditandai dengan perkembangan klinis kronis (lihat Gambar ).6

Gambar 2.1 Patogenesis Psoriasis Vulgaris.5

Diketahui bahwa sel dendritik memainkan peran utama dalam tahap awal penyakit. Sel dendritik adalah sel penyaji antigen profesional. Namun, aktivasi mereka pada psoriasis tidak sepenuhnya jelas. Salah satu mekanisme yang diusulkan melibatkan pengenalan peptida antimikroba (AMP), yang disekresikan oleh keratinosit sebagai respons terhadap cedera dan secara khas diekspresikan secara berlebihan pada kulit psoriasis. Di antara AMP terkait psoriasis yang paling banyak dipelajari adalah protein LL37, β-defensins, dan S100. LL37 atau cathelicidin telah dikaitkan dengan peran patogen dalam psoriasis. Ini dilepaskan oleh keratinosit yang rusak, dan kemudian membentuk kompleks dengan materi genetik-sendiri dari sel-sel rusak lainnya. LL37 terikat DNA merangsang toll-like receptor (TLR) 9 dalam sel dendritik plasmacytoid (pDCs). Aktivasi pDC adalah kunci dalam memulai perkembangan plak psoriasis, dan ditandai dengan produksi IFN tipe I (IFNα- dan IFN-β ). Pensinyalan IFN tipe I mempromosikan pematangan fenotip sel dendritik myeloid (mDC), dan telah terlibat dalam diferensiasi dan fungsi Th1 dan Th17, termasuk produksi IFN-γ dan interleukin (IL)-17, masing-masing.6 

Sementara kompleks LL37-DNA merangsang pDC melalui TLR9, LL37 yang terikat pada RNA merangsang pDC melalui TLR7. Selain itu, kompleks LL37-RNA bekerja pada mDC melalui TLR8. MDC yang diaktifkan bermigrasi ke kelenjar getah bening yang mengalir dan mengeluarkan faktor nekrosis tumor (TNF)-, IL-23, dan IL-12, dengan dua yang terakhir memodulasi diferensiasi dan proliferasi subset sel Th17 dan Th1, masing-masing. Lebih lanjut, slan+ monosit, yang merupakan sel pro-inflamasi penting yang ditemukan pada lesi kulit psoriasis, merespons aktivasi LL37-RNA dengan mensekresi sejumlah besar TNF-α, IL-12, dan IL-23.6 

Aktivasi respon imun adaptif melalui subset sel T yang berbeda mendorong fase pemeliharaan peradangan psoriatik. Sitokin Th17, yaitu IL-17, IL-21, dan IL-22 mengaktifkan proliferasi keratinosit di epidermis. Lingkungan inflamasi mengaktifkan proliferasi keratinosit melalui TNF-α, IL-17, dan IFN-γ. Keratinosit juga diaktifkan oleh LL37 dan DNA, dan sangat meningkatkan produksi IFN tipe I. Selanjutnya, mereka berpartisipasi aktif dalam kaskade inflamasi melalui sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF-α), kemokin, dan sekresi AMP.6,7 

Jalur inflamasi TNFα -IL-23-Th17 mencirikan psoriasis tipe plak. Keluarga sitokin IL-17 terdiri dari enam anggota: IL-17A-F. Mereka diproduksi oleh jenis sel yang berbeda, dan merupakan regulator penting dari respon inflamasi. Sejauh ini, pensinyalan yang relevan secara klinis pada psoriasis sebagian besar dimediasi oleh IL-17A dan IL-17F; keduanya bekerja melalui reseptor yang sama, tetapi memiliki potensi yang berbeda. IL-17A memberikan efek yang lebih kuat daripada IL-17F, dan heterodimer IL-17A/IL-17F memiliki efek menengah. IL-17A mengikat kompleks reseptor trimeriknya yang terdiri dari dua subunit IL-17RA dan satu subunit IL-17RC, menghasilkan perekrutan protein adaptor ACT1. Interaksi antara ACT1 dan kompleks reseptor IL-17 mengarah pada aktivasi serangkaian kinase intraseluler termasuk: ekstraseluler signal-regulated kinase (ERK), p38 MAPK, TGF-beta-activated Kinase 1 (TAK1), I-kappa B kinase (IKK), dan glikogen sintase kinase 3 beta (GSK-3 beta). Kinase ini memungkinkan transkripsi NFκB, AP-1, dan C/EBP dari sitokin pro-inflamasi, kemokin, dan peptida antimikroba. Sitokin Th1 dan Th2 bekerja melalui jalur signaling Janus kinase (JAK)-STAT, sedangkan respon Th17 dimediasi oleh ACT1 dan NFκB. Atau, sel T mampu menghasilkan IL-17A secara independen dari stimulus IL-23. Obat-obatan yang menargetkan TNF, IL-23, dan IL-17 dan jalur pensinyalan seperti JAK/STAT efektif dalam manajemen klinis psoriasis plak. Namun, jalur inflamasi alternatif mungkin berlaku untuk varian psoriasis yang berbeda.6,7

Gambar 2.2 Patogenesis Psoriasis Vulgaris.7

 

  1. GAMBARAN KLINIS

Psoriasis vulgaris mengeluh adanya bercak kemerahan yang menonjol pada kulit dengan pinggiran merah, tertutup dengan sisik keperakan dengan ukuran yang bervariasi, makin melebar, bisa pecah dan menimbulkan nyeri, bisa juga timbul gatal-gatal. Pada stadium penyembuhannya sering eritema yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di pingir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika (mica-like scale), serta transparan. Plak eritematous yang tebal menandakan adanya hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, pelebaran pembuluh darah dan inflamasi. Besar kelainan bervariasi dari milier, lentikular, numular, sampai plakat dan berkonfluensi.8 9

Variasi klinis pada psoriasi ini adalah lesi sangat khas, sering disebut dengan plak karena terdapat peninggian pada kulit yang berwarna merah dan berbatas tegas. Diatas plak tersebut terdapat skuama yang berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan bervariasi : lentikular, numular atau plakat, dapat berkonfluensi.9 Ukuran plak bervariasi, mulai dari lesi minimal hingga melibatkan hampir seluruh permukaan kulit. Psoriasis dapat menyebabkan morbiditas dan pengurangan kualitas hidup yang signifikan umumnya disebabkan oleh eksaserbasi klinis dan lesi yang parah pada area kulit yang tidak tertutup, manifestasi sistemik serta efek samping obat .10


Gambar 2.3 Lesi Klasik Psoriasis Vulgaris.1

Luasnya daerah yang terlibat bervariasi antara satu pasien dengan lainnya. Kelainan kuku ditemukan pada 40-50 persen kasus dan jarang dijumpai jika tidak ada penyakit kulit di tempat lain. Kelainan kuku paling sering berupa pitting nail yaitu cekungan bervariasi mulai dari 0,5-2,0 mm, dapat tunggal atau multipel dan lebih sering mengenai jari-jari tangan dibanding kaki. Selain pitting nail, kelainan pada kuku yang jarang dijumpai adalah onikolisis, perubahan warna, penebalan kuku dan distrofi.11

 

  1. DIAGNOSIS

Diagnosis psoriasis vulgaris ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis pada penderita psoriasis vulgaris biasanya memperoleh adanya keluhan gatal dan bercak merah berisisik pada lokasi predileksi. Keluhan dapat bersifat akut (hitungan hari) maupun kronis (bulanan sampai tahunan) dengan ataupun tanpa riwayat rekurensi. Penyakit yang bersifat kronis dengan frekuensi rekurensi tinggi memiliki prognosis yang lebih buruk karena sering dijumpai perluasan lesi yang progresif.6 Selain hal diatas, anamnesis juga sangat penting dalam mengetahui adanya konsumsi obat-obatan yang dapat memicu psoriasis vulgaris, onset penyakit dan adanya riwayat psoriasis pada anggota keluarga lain. Psoriasis beronset dini dengan adanya anggota keluarga lain yang menderita psoriasis telah dihubungkan dengan lesi yang lebih luas dan bersifat rekuren. Selain lesi kulit penderita psoriasis sering kali mengeluhkan adanya nyeri sendi, kerusakan kuku maupun nyeri di lidah.1 

Psoriasis vulgaris atau psoriasis dengan lesi plak kronis merupakan presentasi klasik dan yang paling sering dijumpai pada psoriasis. Lesi klasik psoriasis berupa plak eritema berbatas tegas dan ditutupi skuama berwarna putih. Skuama pada lesi tampak berwarna putih menyerupai lilin ketika dikerok (fenomena Karsvlek atau tetesan lilin). Ketika pengerokan dilanjutkan maka akan dijumpai bintik-bintik perdarahan berukuran kecil (pin point bleeding) yang disebut sebagai tanda Auspitz. Kulit sehat yang sebelumnya digaruk oleh penderita dapat berkembang menjadi lesi dalam jangka waktu kurang lebih dua minggu (fenomena koebner atau isomorfik). Fenomena Kaarsvlek dan tanda Auspitz merupakan ciri khas lesi psoriasis vulgaris yang sangat mudah diperiksa secara klinis.1,12 Lesi psoriasis vulgaris cenderung simetris dijumpai pada bagian ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral bagian bawah, bokong dan genitalia Selain di tempat-tempat tersebut lesi juga dapat dijumpai pada umbilikus dan celah intergluteal.13 

Berdasarkan gambaran klinis psoriasis vulgaris dapat berbeda-beda. Lesi dapat dijumpai seperti menyerupai peta atau disebut psoriasis geografika, gabungan beberapa plak (psoriasis girata), mnyerupai cincin (psoriasis anularis), menyerupai kerucut (psoriasis rupioid) dan menyerupai kulit kerang (psoriasis ostrasea). Selain pada kulit, lesi psoriasis juga dapat dijumpai pada sendi, kuku dan lidah. Empat puluh persen penderita psoriasis mengalami artritis yang disebut dengan artritis psoriatik. Gejala yang djumpai berupa nyeri, bengkak, kaku, kemerahan dan penurunan mobilitas sendi perifer, aksial, seluruh jari, tendon maupun entesis (tempat perlekatan ligamen atau tendon ke tulang). Terdapat beberapa manifestasi psoriasis pada kuku antara lain pitting nail, oil drop atau salmon patch sign, beau lines, splinter hemorrhages, onikoreksis, leukonikia, onikolisis, penipisan lempeng kuku, hiperkeratosis subungual dan onikolisis. Penderita psoriasis dapat dijumpai lidah geografik yang juga dikenal sebagai glositis migratori benigna atau glositis areata migrans, namun tidak spesifik. Kondisi ini terjadi akibat hilangnya papila filiformis lokal pada lidah.1,14 

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosis psoriasis vulgaris terdiri dari pemeriksaan darah, pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan darah lengkap bersifat tidak spesifik dan berbagai penanda inflamasi seperti C-reactive protein (CRP), makroglobulin a2 dan laju endap darah menunjukkan peningkatan. Albumin serum biasanya menurun akibat hilangnya stratum korneum sementara profil lipid menunjukkan peningkatan. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya hiperkeratosis jenis parakeratosis, akantosis, papilomatosis, dilatasi pembuluh darah, spongiform pustules of Kogoj maupun mikroabses Munro.1, 15

  1. DIAGNOSIS BANDING

a.         Tinea korporis

Tinea korporis merupakan salah satu bentuk dermatofitosis yaitu penyakit kulit akibat infeksi jamur dermatofita. Jamur akan menginfeksi daerah kulit tak berambut yaitu pada wajah, badan, lengan dan tungkai.8,9 Penyebab tinea korporis adalah jamur Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton.8

Keluhan yang dialami penderita tinea korporis atau dermatofitosis yaitu gatal terutama jika berkeringat. Gejala klinis dimulai dengan adanya lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan perkembangan ke arah luar, bercak-bercak dapat melebar dan akhirnya memberi gambaran yang polisiklik, arsinar, dan sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan makula eritema, plak, dan dapat disertai adanya papul, vesikel dan skuama hiperpigmentasi sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang (central healing).

Gambar 2.4 Tinea Korporis

b.        Pitiriasis rosea

Pitiriasis Rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut, morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Penyebab penyakit ini masih belum diketahui, dapat menyerang semua umur dan lebih sering pada cuaca dingin. Keluhan biasanya berupa timbul bercak seluruh tubuh terutama daerah yang tertutup pakaian berbentuk bulat panjang, mengikuti lipatan kulit. Diawali dengan bercak besar disekitarnya terdapat bercak kecil. Ukuran bercak dari seujung jarum pentul sampai sebesar uang logam. Dapat didahului gejala prodormal ringan seperti badan lemah. sakit kepala, dan sakit tenggorokan. Tempat predileksi yaitu tersebar diseluruh tubuh terutama tempat yang tertutup oleh pakaian. Efloresensi meliputi makula eritematosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat.

Penyakit ini sering disangka jamur karena gambaran klinisnya mirip tinea korporis yaitu terdapat eritema dan skuama dipinggir dan bentuknya anular. Perbedaannya pada pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu berat, skuamanya halus sedangkan pada tinea korporis kasar. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membedakan dengan tinea korporis adalah pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%, yang pada tinea akan memberikan hasil positif.8,9

Gambar 2.5 Pitiriasis Rosea

c.         Pitiriasis versikolor

Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia spp. Gambaran klinis PV umumnya berupa makula atau patch warna putih, merah atau kecoklatan yang tidak gatal, terkadang rasa gatal terutama saat berkeringat. Pada lesi awal biasanya akan muncul area hipopigmentasi sedangkan pada lesi yang lebih lama akan muncul area hiperpigmentasi, kedua hal ini dapat muncul pada satu pasien. Lesi awal berupa makula atau patch berbatas tegas, tertutup skuama halus yang terkadang tidak tampak jelas. Untuk menunjukkan adanya skuama pada lesi yang kering dapat digores dengan ujung kuku sehingga batas lesi akan tampak lebih jelas (finger nail sign) atau dengan menggunakan kaca objek, scalpel atau ujung kuku (coup d’ongle of Besnier).16,17 Pada penyakit yang telah lanjut lesi akan menjadi bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi bervariasi dan dapat ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.18

Gambar 2.6 Pitiriasis versicolor

d.        Dermatitis numularis

Dermatitis numularis adalah dermatitis yang lesinya berbentuk mata uang atau agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah. Penyakit ini terjadi pada orang dewasa, lebih sering pada pria dibanding wanita. Penderita dermatitis numularis umumnya mengeluh sangat gatal dan disertai nyeri, perjalanan penyakit ini diawali dengan eritema berbentuk lingkaran, selanjutnya melebar sebesar uang logam yang dikeliling oleh papul dan vesikel. Pada lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel, kemudian membesar dengan berkonfluensi atau meluas kesamping, membentuk satu lesi karakteristik seperti uang logam, eritema, sedikit edematosa, berbatas tegas, lambat laun akan pecah terjadi eksudasi kemudian mengering menjadi krusta kekuningan. Pada penyakit ini penyembuhan dimulai dari tengah sehingga terkesan penyerupai lesi dermatomikosis, lesi yang sama berupa likenifikasi dan skuama. Jumlah lesi pada dermatitis numularis dapat satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral atau simetri dengan ukuran dari numular sampai plakat. Tempat predileksi penyakit ini tungkai bawah, badan, tangan termasuk punggung tangan. Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan spongiosis vesikel intradermal, serbukan sel radang limfosit dan makrofag disekitar pembuluh darah. Perbedaaanya pada tinea lesi berupa pinggir aktif, bagian tengah agak menyembuh, hifa positif dari pemeriksaan sediaan langsung. 8,9

Gambar 2.7 Dermatitis Numularis

 

  1. TATALAKSANA

a.       Tatalaksana non medikamentosa.19,20

l   Menentukan tipe, luas area yang terkena dan atau PASI (Psoriasis Area Severity Index)

l   Identifikasi dan penghindaran faktor pencetus

l   Identifikasi penyakit penyerta

l   Konsultasi ke pliklinik psikiatri untuk pasien emosional labil, poliklinik reumatologi untuk psoriasis artritis, poliklinik gigi mulut, THT dan radiologi untuk mencari fokal infeksi

b.      Tatalaksana medikamentosa19,20

Langkah pengobatan psoriasis

l   Langkah 1: pengobatan topikal untuk psoriasis ringan, luas kelainan kulit kurang dari 3%.

l   Langkah 2: fototerapi/fotokemoterapi untuk mengobati psoriasis sedang sampai berat, selain itu juga dipakai mengobati psoriasis yang tidak berhasil dengan pengobatan topikal.

l   Langkah 3: pengobatan sistemik khusus untuk psoriasis sedang sampai sedang sampai parah (lebih dari 10% permukaan tubuh) atau psoriatik artritis berat (disertai dengan cacat tubuh). Juga dipakai untuk psoriatik eritroderma atau psoriasis pustulosa.

Topikal:

l   Emolien: misalnya urea, petrolatum, parafin cair, minyak mineral, gliserin, asam glikolat, dan lainnya.

l   Kortikosteroid: kortikosteroid potensi sedang dan kuat dapat dikombinasi dengan obat topikal lain, fototerapi, obat sistemik. Scalp: lotion, spray, solusio dan gel. Wajah: potensi redah, hindari poten-superpoten. Lipatan tubuh: potensi rendah bentuk krim atau gel. Palmar dan plantar: steroid potensi sangat poten, hanya sedikit efektif.

l   Keratolitik: asam salisilat adalah keratolitik yang paling sering digunakan. Jangan digunakan pada saat terapisinar karena asam salisilat dapat  mengurangi efikasi UVB

l   Retinoid (topikal): paling baik dikombinasi dengan topikal kortikosteroid

l   Analog vitamin D: preparat yang tersedia adalah kalsipotriol, dapat digunakan sebagai terapi rumatan

l   Kombinasi kortikosteroid dan analog vitamin D: preparat tunggal yang tersedia adalah sediaan kombinasi kalsipotriol dan betametasone diproprionat. Tidak dapat diracik sendiri karena berbeda pH

Fototerapi/fotokemoterapi Ultraviolet B (UVB) broadband (BB)

l   Efek: penyembuhan awal terlihat setelah 4 minggu terapi, kulit bersih (clearance) dapat tercapai setelah 20-30 terapi, terapi pemeliharaan (maintenance) dapat memperpanjang masa remisi.

l   Dosis awal: menurut tipe kulit 20-60 mJ/cm2 atau 50% minimal erythemal dose (MED), dosis dinaikan 5-30 mJ/cm2 atau ≤25% MED awal, penyinaran 3-5 kali/minggu.,

Ultraviolet B (UVB) narrowband (NB)

l   Efek: penyembuhan awal terlihat setelah 8-10 terapi, kulit bersih dapat tercapai setelah 15-20 terapi, terapi pemeliharaan dapat memperpanjang masa remisi. Laju remisi 38% setahun

l   Dosis awal: menurut tipe kulit 130-400 mJ/cm2 atau 50% minimal erythemal dose (MED), dosis dinaikan 15-65 mJ/cm2 atau ≤10% MED awal, penyinaran 3-5 kali/minggu

PUVA

l   Efek: penyembuhan awal terlihat dalam satu bulan terapi, 89% pasien mendapatkan perbaikan plak dalam 20-25 kali terapi selama 5,3-11,6 minggu. Terapi pemeliharaan tidak ditetapkan, masa remisi 3-12 bulan.

l   Dosis: 8-metoksi psoralen, 0,4-0,6 mg/kgBB diminum peroral 60-120 menit sebelum disinar UVA. Kaca mata bertabir ultraviolet diperlukan untuk perlindungan di luar rumah 12 jam setelah minum psoralen. Dosis UVA menurut tipe kulit 0,5-3,0 J/cm2, dosis dinaikan 0,5-1,5 J/cm2 penyinaran 2-3 kali/minggu.

Sistemik konvensional

l   Metroteksat

n   Interaksi obat: obat hepatotoksik misalnya barbiturat, sulfametoksazol, NSAID, penisilin, trimetoprim.

n   Biopsi hati dilakukan setelah pemberian metotreksat 3,5-4 gram diikuti setiap 1,5 gram. Pasien dengan risiko kerusakan hati, biopsi hati dipertimbangkan setelah pemberian metotreksat 1-1,5 gram.

n   Kontraindikasi absolut: hamil, menyusui, alkoholisme, penyakit hati kronis, sindrom imunodefisiensi, hipoplasia sumsum tulang belakang, leukopenia, trombositopenia, anemia yang bermakna, hipersensitivitas terhadap metotreksat.

n   Kontraindikasi relatif: abnormalitas fungsi renal, hepar, infeksi aktif, obesitas, diabetes melitus.

n   Pemantauan: Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik.

n   Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi hati dan renal, biopsi sesuai anjuran, pemeriksaan kehamilan, uji HIV, PPD, foto toraks

l   Siklosporin

l   Pemakaian jangka lama tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas dan kemungkinan keganasan.

l   Kontraindikasi: bersamaan dengan pemberian imunosupresan lain (metotreksat, PUVA, UVB, radioterapi), fungsi renal terganggu, keganasan, hipersensitif terhadap siklosporin, hindari vaksin, perhatian seksama bila diberikan pada pasien dengan infeksi berat juga diabetes melitus tidak terkontrol.

l   Toksisitas: gangguan fungsi ginjal, hipertensi, keganasan, nyeri kepala, hipertrikosis, hiperplasia gingiva, akne memburuk, mual, muntah, diare, mialgia, flu like syndrome, letargia, hipertrigliserida, hipomagnesium, hiperkalemia, hiperbilirubinemia, meningkatnya risiko infeksi dan keganasan.

l   Jika memungkinkan rotasi penggunaannya dengan terapi lain atau gunakan pada periode kambuh yang berat.

l   Interaksi obat: obat-obatan yang menginduksi/menghambat sitokrom P450 3A4. Menurunkan pembuangan (clearence) digoksin, prednisolon, statin, diuretik (hemat kalium), tiazid, vaksin hidup, NSAID, grapefruit.

l   Monitoring: pemeriksaan fisik, tensi, ureum, kreatinin, urinalisis, fungsi hati, profil lipid, magnesium, asam urat, potasium, uji kehamilan.

l   Kehamilan kategori C, menyusui: kontraindikasi, anakanak hanya bila psoriasis berat.

l   Retinoid

l   Asitretin oral pilihan pada psoriasis dapat digunakan sebagai monoterapi untuk psoriasis pustular dan psoriasis eritroderma. Efek menguntungkan terjadi jauh lebih lambat jika digunakan untuk psoriasis tipe plak dan gutata tetapi sangat baik jika dikombinasikan dengan PUVA dan UVB (diperlukan dalam dosis rendah).

l   Dosis: 10-50 mg/hari, untuk mengurangi efek samping lebih baik digunakan dalam dosis rendah dengan kombinasi misalnya UV dengan radiasi rendah.

l   Kontraindikasi: perempuan reproduksi, gangguan fungsi hati dan ginjal.

l   Toksisitas; keilitis, alopesia, xerotic, pruritus, mulut kering, paronikia, parestesia, sakit kepala, pseudomotor serebri, nausea, nyeri perut, nyeri sendi, mialgia, hipertrigliserida, fungsi hati abnormal.

l   Interaksi obat: meningkatkan efek hipoglikemik glibenklamid, mengganggu pil kontrasepsi: microdosedprogestin, hepatotoksik, reduksi ikatan protein dari fenitoin, dengan tetrasiklin meningkatkan tekanan intrakranial.

l   Monitoring: riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, kombinasi dengan turunan vitamin A lainnya.

l   Retinoid sangat teratogenik dan cenderung untuk menetap pada jaringan tubuh.

l   Agen biologik

Agen biologik untuk psoriasis yang akan/telah tersedia di Indonesia: etarnecept, ustekinumab, adalimumab, infliximab, secukinumab

 

  1. PROGNOSIS

Psoriasis adalah penyakit seumur hidup yang ditandai dengan kekambuhan dan remisi. Sekitar 10% pasien mengalami artritis deformasi berat. Remisi dialami pada 10-60% pasien. Selama perjalanan penyakit, psoriasis telah dikaitkan dengan depresi, bunuh diri, alkoholisme, merokok, penyalahgunaan zat, sindrom metabolik dan berbagai kanker kulit. Selain itu, pasien dengan psoriasis cenderung memiliki penyakit penyerta medis utama seperti penyakit ginjal, penyakit jantung dan masalah persendian. Beberapa penelitian telah mencatat hubungan antara psoriasis dan kejadian jantung yang merugikan.Psoriasis pustular dan psoriasis eritroderma dapat mengancam  jiwa.21


DAFTAR PUSTAKA

 

1.        Gudjonsson, J.E dan J.T Elder. 2012. Psoriasis. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill, hal. 197-242.

2.         Larsabal M, Ly S, Sbidian E, Moyal-Barracco M, Dauendorffer JN, Dupin N, Richard MA, Chosidow O, Beylot-Barry M. GENIPSO: a French prospective study assessing instantaneous prevalence, clinical features and impact on quality of life of genital psoriasis among patients consulting for psoriasis. Br J Dermatol. 2019 Mar;180(3):647-656.

3.        Schon, M.P dan W.H Boehncke. 2005. Psoriasis N. English Journal Medicine, vol. 352(18): 1899- 1909.

4.        Chandran V dan S.P Raychaudhuri. 2010. Geoepidemiology and environmental factors of psoriasis and psoriatic arthritis. J of autoimmunity, vol. 34:314-21.

5.        Griffiths dan Barker, 2010 Therapeutic Strategis for Psoriasis. J of Clin Pharm and Ther, vol. 25: 1-10.

6.    Rendon A, Schäkel K. Psoriasis Pathogenesis and Treatment [Internet]. 2021 [cited 5 November 2021]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6471628/

7.        Krueger, J.G, A Bowcock. 2013. Psoriasis Pathophysiology:Current Concepts Of Patogenesis. An Rheum Dis, vol. 64(Supl II):ii30-6.

8.        Sanchez APG. Immunopathogenesis of psoriasis. An Bras Dermatol. 2010;85(5):747-9.

9.        Fan X, Yang S, Huang W, Wang Z. M., Sun, L.D., Liang, Y.H., et al. 2008. Fine mapping of the psoriasis susceptibility locus PSORS1 supports HLA-C as the susceptibility gene in the Han Chinese population. Plos Genetics, vol 4 (3) : 1-10.

10.    Djuanda, A. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.  Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

11.    Wolff, K, R.A Johnson, D Suurmond. 2007. Cutaneus Fungal Infection. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. New York: The McGraw Hill Company.

12.    Monteleone, G., Pallone, F., MacDonald, T.T., Chimenti, S., Costanzo, A. 2011. Psoriasis from Pathogenesis to Novel Therapeutic Approach. Clinical Science, vol. 120: 1-11.

13.    Langley R, Krueger G, Griffiths C. 2005. Psoriasis: Epidemiology, clinical features, and quality of life. Ann Rheum Dis, vol. 64(Suplemen II):ii18-23.

14.    Kuchekar, A., Pujari, R., Kuchekar, S., Dhole, S. and Mule, P., 2011. Psoriasis: A comprehensive review. INTERNATIONAL JOURNAL OF PHARMACY & LIFE SCIENCES, 2(6).

15.Habashy, J., 2021. Psoriasis Differential Diagnoses. [online] Emedicine.medscape.com.BTersediaBpadaB:(http://emedicine.medscape.com/article/1943419-differential) [diakses 30 September 2021].

16.    Boehncke, W. dan Schön, M., 2015. Psoriasis. The Lancet, 386(9997), pp.983-994.

17.    Gerkowicz, A., Pietrzak, A., Szepietowski, J., Radej, S. and Chodorowska, G., 2012. Biochemical markers of psoriasis as a metabolic disease. Folia Histochemica et Cytobiologica, 50(2), pp.155-170.

18.    El-Gothamy, Z.M.G. A review of pityriasis versicolor. J Egypt Wom Dermatol Soc 2004; 1:38-43

19.  Kimdu R,V dan A Garg. 2012. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis) versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill.

20.  Hay RJ and Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: WileyBlackwell; 2010. p. 36.10 – 36.12

21. Kelompok Studi Psoriasis Indonesia Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Pedoman tatalaksana psoriasis dan informed consent; 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Manfaat Limit Dalam Kehidupan Sehari-hari

Pakaian Adat Jawa Tengah Pria

Pakaian Adat Jawa Tengah Perempuan