PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

A.    Definisi

Perdarahan SCBA adalah hilangnya darah dari saluran cerna atas yang secara anatomis terletak di atas ligamentum Treitz, yaitu esofagus, gaster hingga duodenum bagian horizontal (PGI, 2012; Taylor dkk, 2014). Ada pun manifestasi klinis yang timbul dari perdarahan SCBA adalah hematemesis, keluarnya darah atau pun bekuan darah dari nasogastric tube, dan/atau melena, serta dapat pula berupa hematoskezia bila terjadi perdarahan SCBA yang massif dan cepat (PGI, 2012; ASGE, 2012).

B.     Epidemiologi

Sebagian besar perdarahan saluran cerna disebabkan oleh perdarahan SCBA, yaitu sekitar 65-80% (Zuckerman, 2000). Perdarahan SCBA disebutkan sebagai salah satu kegawatdaruratan di bidang gastroenterologi dan menjadi penyebab kunjungan tersering di ruang gawat darurat (Taylor dkk, 2014). Angka kejadian perdarahan SCBA selama beberapa dekade terakhir ini tidak mengalami perubahan, meskipun telah ada kemajuan dalam hal pengelolaan dan terapi perdarahan SCBA. Hal ini diperkirakan sangat berkaitan dengan penggunaan aspirin dan obat-obatan anti inflamasi nonsteroid yang semakin sering digunakan pada praktek klinik sehari-hari (Maduseno, 2011; Robinson dkk, 2012).

Insiden perdarahan SCBA berbeda-beda di setiap negara. Di Belanda insiden perdarahan SCBA adalah sebesar 37 per 100 ribu populasi dewasa (Jansen dkk, 2011; Schiefer dkk, 2012), di Denmark sekitar 48 ribu per 100 ribu populasi dewasa (Yavorski dkk, 1995), di Amerika dan di Inggris adalah sebesar 150-172 per 100 ribu populasi dewasa (Leerdam dkk, 2003). Data mengenai insiden perdarahan SCBA pada populasi yang sebenarnya di Indonesia masih belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan sekitar 46-150 per 100 ribu populasi dewasa (PGI, 2012). Sebagian besar perdarahan SCBA dapat berhenti dengan sendirinya, dan hanya sekitar 10% yang memerlukan tindakan khusus berupa endoskopi terapeutik atau pun pembedahan (Augustin dkk, 2010; Biecker, 2013). Meskipun hanya 10% kasus yang memerlukan penatalaksanaan khusus, namun biaya kesehatan yang diperlukan untuk penatalaksanaan kasus tersebut dan penatalaksanaan komplikasi terkait kasus tersebut masih tetap tinggi. Adapun biaya kesehatan yang dibutuhkan untuk penatalaksanaan kasus ini adalah sebesar 3402-5632 US dollar (Cremers dan Ribeiro, 2014).

Komplikasi yang dapat timbul terkait perdarahan SCBA adalah kematian dan perdarahan ulang (Ramaekers dkk, 2016). Angka kematian terkait perdarahan SCBA hingga saat ini masih cukup tinggi, yaitu 10-20%, namun hal ini sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelum tahun 1995, yaitu sebesar 33-50%. Kejadian perdarahan ulang pada perdarahan SCBA adalah sebesar 5-15% (Leerdam, 2008; El-Tawil, 2012). Berdasarkan penelitian Robinson dkk (2012), komplikasi kematian terkait perdarahan SCBA adalah sebesar 23-35%, sedangkan komplikasi berupa perdarahan ulang dan kematian pada perdarahan SCBA didapatkan nilai yang jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 60-65%.

C.     Etiologi

            Umumnya perdarahan SCBA dapat dikelompokkan menjadi 2 penyebab, yaitu perdarahan variseal dan non variseal. Perdarahan variseal merupakan perdarahan yang timbul akibat pecahnya varises esofagus, gaster dan hypertensive portal gastropathy sebagai akibat hipertensi portal (Taylor dkk, 2014). Sekitar 60- 65% dari perdarahan SCBA pada sirosis hati disebabkan oleh perdarahan variseal. Ada pun dua pertiga (sekitar 65%) dari perdarahan variseal disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, sedangkan hypertensive portal gastropathy sebesar 15% dan pecahnya varises gaster hanya berkisar 5-10% (Berzigotti dkk, 2001; Tsao dkk, 2007; Biecker, 2013). Perdarahan non variseal merupakan perdarahan SCBA yang bukan disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, gaster maupun hypertensive portal gastropathy. Penyebab-penyebab perdarahan SCBA adalah ulkus peptikum, gastritis erosif, robekan Mallory-Weis, keganasan pada SCBA, esofagitis, dan malformasi vaskuler (BSG, 2002). Penyebab perdarahan SCBA di negara-negara Barat sebagian besar disebabkan oleh perdarahan non variseal, yaitu ulkus peptikum. Ada pun insiden ulkus peptikum sebagai penyebab perdarahan SCBA adalah sebesar 63% (Tielleman dkk, 2015). Penyebab perdarahan SCBA di Indonesia umumnya lebih banyak disebabkan oleh perdarahan variseal, yaitu sekitar 50-60% dari seluruh kasus perdarahan SCBA (Djumhana, 2011; PGI, 2012). 

            Terdapat beberapa faktor risiko yang turut berperan dalam pathogenesis perdarahan SCBA. Faktor risiko perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal lebih berkaitan dengan tingginya tekanan vena portal yang terjadi, hal ini seiring dengan beratnya derajat sirosis hati dan besar ukuran varises (Tsao dkk, 2007; Waleleng dkk, 2015). Gangguan fungsi ginjal dan infeksi disebutkan dapat menjadi pencetus untuk terjadinya perburukan dari hipertensi portal yang telah ada (Tsao dkk, 2007; Crooks, 2013). Faktor risiko yang berkaitan dengan perdarahan non variseal adalah infeksi Helicobacter pylori, obat-obatan anti inflamasi nonsteroid, obat anti agregasi platelet, dan usia lanjut (PGI, 2012; Tielleman dkk, 2015). Selain faktorfaktor tersebut, beberapa penelitian menyebutkan pula bahwa konsumsi alkohol berlebih; merokok; dan penyakit-penyakit komorbid seperti gangguan ginjal, penyakit jantung koroner, dan diabetes mellitus meningkatkan risiko timbulnya perdarahan non variseal (Crooks, 2013).

D.    Patogenesis Perdarahan SCBA

1.      Perdarahan Variseal

Umumnya terdapat 2 teori yang menjelaskan tentang timbulnya perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal, yaitu teori erosi dan teori eksplosif. Pada teori erosi disebutkan bahwa perdarahan variseal timbul sebagai akibat trauma eksternal yang menyebabkan erosi pada pembuluh darah varises yang berdinding tipis dan rapuh. Faktor trauma eksternal yang menjadi penyebab perdarahan variseal adalah adanya esofagitis dan makanan solid yang dapat mengakibatkan iritasi dan erosi pada dinding pembuluh darah varises. Teori eksplosif menyebutkan bahwa perdarahan variseal lebih disebabkan oleh perburukkan hipertensi portal yang telah ada sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang mengalami varises. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan ukuran varises dan menurunnya ketebalan dinding pembuluh darah sehingga daya regang pembuluh darah pun menurun (Berzigotti dkk, 2001).


 

Gambar 1. Hipotesis Mekanisme Perdarahan Variseal (Berzigotti dkk, 2001)

Penelitian-penelitian yang ada telah mendukung teori eksplosif untuk menjelaskan perdarahan variseal. Semakin tinggi gradient tekanan portal maka akan memberikan risiko yang lebih tinggi pula untuk terjadinya perdarahan variseal dan dapat mempersulit dalam penatalaksanaan perdarahan yang terjadi. Sebagian besar perdarahan variseal akan timbul bila gradien tekanan portal >12mmHg. Sebaliknya bila gradien tekanan portal dapat diturunkan menjadi 20% dari gradien tekanan portal awal dapat menurunkan risiko terjadinya perdarahan ulang (Berzigotti dkk, 2001; Waleleng dkk, 2015)

2.      Perdarahan Non Variseal

Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga berfungsi untuk mengencerkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut atau kronik dapat terjadi dengan adanya gangguan pada mekanisme-mekanisme protektif tersebut (Turner, 2010)


 

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas (Turner, 2010).

Pembentukan musin pada usia lanjut akan mengalami penurunan, sehingga lebih rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna (Turner, 2010). Obat anti inflamasi nonsteroid dan obat anti agregasi platelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster (Soll dan Graham, 2015). Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung, peningkatan keasaman pada duodenum, dan kerusakan mukosa hingga terjadi ulkus duodenum. Sekresi gastrin akan meningkat, baik pada sekresi basal mau pun sekresi yang dirangsang oleh makanan, sedangkan sekresi somatostatin oleh sel D akan menurun. Peningkatan asam lambung dapat pula timbul akibat efek sitokin-sitokin proinflamasi, seperti interleukin-1 (IL-1), IL-8 dan tumor necrosis factor (TNF), pada sel-sel parietal, sel G, dan sel D (Valle, 2013).

Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam lambung sehingga menyebabkan perlukaan mukosa saluran cerna (Soll dan Graham, 2015). Pada terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya kemampuan regenerasi sel (Turner, 2010).

E.     Manifestasi Klinis Perdarahan SCBA

Manifestasi klinis perdarahan SCBA, baik pada perdarahan variseal dan non variseal, umumnya berupa hematemesis dan/atau melena. Hematemesis merupakan muntah darah yang berwarna merah atau kehitaman. Muntah darah berwarna kehitaman disebabkan oleh konversi hemoglobin menjadi hematin akibat adanya paparan asam lambung terhadap darah (Laine, 2005). Melena menggambarkan feses berwarna hitam yang mengandung darah akibat proses pencernaan. Feses biasanya berwarna hitam seperti ter, berbau busuk, dan lengket (Bogoch, 1985; Laine, 2005).

Perubahan warna feses menjadi hitam sangat dipengaruhi oleh lokasi perdarahan, jumlah dan laju perdarahan, serta kecepatan transit di usus. Terkait dengan kecepatan transit di usus maka melena menginformasikan bahwa darah telah berada dalam saluran cerna selama minimal 14 jam. Selain berwarna hitam sebagai melena, perdarahan SCBA dapat pula bermanifestasi sebagai hematoskezia, yaitu feses yang berwarna merah segar karena mengandung darah. Hematoskezia umumnya merupakan manifestasi klinis perdarahan saluran cerna bagian bawah, namun jika perdarahan SCBA disertai dengan hematoskezia maka menandakan bahwa telah terjadi perdarahan SCBA yang masif (Laine, 2005).

Pada perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal umumnya akan dijumpai pula tanda-tanda sirosis hati/penyakit hati kronik berupa ginekomastia, spider nevi, splenomegali, ascites, eritema palmaris, dan/tanpa ensefalopati hepatik (Djumhana dkk, 1998; Laney dan Greene, 2015; Rockey dkk, 2016). Gejala lain yang dapat dijumpai pada perdarahan SCBA non variseal adalah rasa pusing, kepala terasa ringan dan lemas. Keluhan berupa lemas, pusing dan kepala terasa ringan timbul akibat anemia yang telah terjadi (Simon dkk, 2015).

F.     Diagnosis Perdarahan SCBA

Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan bagian dari pendekatan diagnosis pada perdarahan SCBA. Tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk mencari manifestasi klinis, faktor risiko, komorbiditas, dan penilaian berat-ringannya perdarahan yang terjadi, serta memperkirakan penyebab perdarahan SCBA, yaitu variseal ataukah non variseal (Adi, 2014). Berat-ringannya perdarahan SCBA, berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat disesuaikan dengan klasifikasi hipovolemia akibat perdarahan (Basket, 1990).

Pemasangan nasogastric tube merupakan tindakan medis yang dapat membantu untuk mengkonfirmasi adanya perdarahan SCBA. Selain itu beberapa manfaat dari pemasangan nasogastric tube adalah memperkirakan jumlah perdarahan, mempersiapkan lapang pandang yang bersih untuk tindakan endoskopi, mencegah aspirasi isi lambung ke jalan nafas, dan mengurangi beban amoniak pencetus ensefalopati hepatik pada perdarahan variseal dengan sirosis hati. Ada pun komplikasi yang dapat timbul akibat pemasangan nasogastric tube adalah epistaksis dan erosi pada gaster (Chalasani dkk, 1997; Sarin dkk, 2011).

Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu menilai berat-ringannya perdarahan SCBA. Pemeriksaan laboratorium tersebut antara lain adalah pemeriksaan darah lengkap, creatinine serum, blood urea nitrogen, enzim transaminase hati, faal hemostasis, dan asam laktat (Taylor dkk, 2014; Simon dkk, 2015; Laney dan Greene, 2015).

Pemeriksaan endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama pada perdarahan SCBA. Pemeriksaan ini disebutkan sebagai baku emas untuk penegakan diagnosis perdarahan SCBA, namun ada pun keunggulan dari pemeriksaan ini adalah dapat memberikan visualisasi secara langsung lokasi dan penyebab perdarahan serta aktivitas dari perdarahan tersebut. Selain itu, endoskopi dapat pula menjadi terapi intervensi pilihan dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA. Ada pun waktu yang disarankan untuk melakukan pemeriksaan tersebut adalah dalam 24 jam setelah didapatkan adanya manifestasi perdarahan SCBA, sedangkan pada kondisi terjadi instabilitas hemodinamik akibat perdarahan masif maka pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan segera setelah resusitasi (Sung dkk, 2011; NICE, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015).

Temuan endoskopi pada perdarahan SCBA, khususnya perdarahan non variseal, dapat diklasifikasikan dengan kriteria Forrest. Kriteria tersebut dapat digunakan untuk menilai risiko perdarahan ulang pada perdarahan SCBA. Selain itu, penggunaan klasifikasi tersebut dapat menjadi petunjuk pilihan terapi yang diperlukan untuk penatalaksanaan perdarahan SCBA (PGI, 2012; Laine dan Jensen, 2012).

G.    Penatalaksanaan Perdarahan SCBA

Tujuan utama pengelolaan perdarahan SCBA adalah stabilisasi hemodinamik, menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan menurunkan mortalitas.

1.      Penatalaksanaan Umum

Pada kondisi hemodinamik tidak stabil atau kondisi syok, maka resusitasi cairan, baik cairan kristaloid atau pun koloid, harus segera diberikan. Cairan kristaloid dengan akses perifer dapat diberikan pada perdarahan ringan sampai sedang. Pada kondisi perdarahan berat, cairan koloid dapat digunakan setelah pemberian cairan kristaloid sebanyak 1500-2000 ml terlebih dahulu, sembari menunggu ketersediaan transfusi darah (Purnomo, 2010; Adi, 2016). Pemasangan kateter vena sentral diperlukan pada keadaan syok yang memerlukan pemantauan ketat dari cairan yang diberikan. Selain itu kateter vena sentral diperlukan pula pada pasien usia lanjut dengan kondisi syok, pasien dengan gagal ginjal kronik dan pasien dengan penyakit jantung, sehingga resusitasi cairan dapat diberikan secara optimal (Cappel, 2008; Albeldawi, 2010). Target resusitasi adalah hemodinamik stabil, produksi urin cukup (>30 ml/jam), tekanan vena sentral 5-10 cmH2O, kadar Hb tercapai, yaitu 8 gr/dL pada perdarahan variseal dan 7-9 gr/dL pada perdarahan non variseal (Purnomo, 2010; Nusi dan Vidyani, 2016). Pemberian oksigen diperlukan terutama pada pasien usia lanjut dan pasien dengan penyakit jantung. Pada pasien yang menggunakan antikoagulan maka penggunaan antikoagulan tersebut harus dihentikan dan perlu dilakukan terapi terhadap koagulopati yang terjadi. Pada pasien yang menggunakan antikoagulan dan terdapat koagulopati dengan international normalized ratio (INR) >1,5 memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami perdarahan ulang (Albeldawi, 2010).

2.      Penatalaksanaan Perdarahan Variseal

-          Terapi Farmakokinetik

·         Vasokonstriktor splanknik

·   Vasopresin (analog)

·   Somatostatin (analog)

·   Beta Blocker non-caardioselective

Farmakoterapi dengan somatostatin (analog) efektif dalam menghentikan perdarahan, setidaknya untuk sementara, pada hingga 80% pasien. Somatostatin mungkin lebih unggul daripada octreotide analognya. Sekitar 30% pasien tidak merespon β-blocker dengan penurunan gradien tekanan vena hati (HVPG), meskipun dengan dosis yang memadai. Non-responder ini hanya dapat dideteksi dengan pengukuran HVPG invasif. Selain itu, β-blocker dapat menyebabkan efek samping seperti kelelahan dan impotensi, yang dapat mengganggu kepatuhan (terutama pada pria yang lebih muda), atau β-blocker dapat dikontraindikasikan karena alasan lain.

·         Vasokonstriktor dan vasodilator

Terapi kombinasi mengarah pada efek sinergis dalam mengurangi tekanan portal. Menggabungkan isosorbide 5-mononitrate dengan β-blocker nonselektif telah terbukti memiliki efek aditif dalam menurunkan tekanan portal dan sangat efektif pada pasien yang tidak merespon terapi awal dengan β-blocker saja. Namun, efek menguntungkan ini mungkin sebanding dengan efek merugikan pada fungsi ginjal dan kematian jangka panjang, terutama pada mereka yang berusia di atas 50 tahun. Oleh karena itu, penggunaan terapi kombinasi secara rutin tidak dianjurkan ((Brecque, Khan, Sarin and Le Mair, 2014)).

-          Terapi endoskopi

·         Terapi local

·         Ligasi varises endoskopi (EVL) atau skleroterapi

Skleroterapi endoskopi dan ligasi pita varises efektif dalam menghentikan perdarahan hingga 90% pasien. EVL lebih efektif daripada endoskopi varises skleroterapi (EVS) dengan kontrol perdarahan yang lebih besar, perdarahan ulang yang lebih rendah, dan efek samping yang lebih rendah tetapi tanpa perbedaan dalam mortalitas.7, 8 Namun, ligasi pita endoskopi mungkin lebih sulit diterapkan daripada skleroterapi pada perdarahan aktif.

·         Terapi Shunting

·         Pembedahan atau radiologis (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt, TIPS)

Transjugular intrahepatik portosystemic shunt (TIPS) adalah alternatif yang baik ketika pengobatan endoskopi dan farmakoterapi gagal.

·         Mengurangi tekanan portal

Penggunaan tamponade balon menurun, karena ada risiko tinggi perdarahan ulang setelah deflasi dan risiko komplikasi besar. Namun demikian, tamponade balon efektif dalam banyak kasus untuk menghentikan perdarahan setidaknya untuk sementara, dan dapat digunakan di wilayah yang mana EGD dan TIPS tidak tersedia. Ini dapat membantu menstabilkan pasien untuk mendapatkan waktu dan akses ke EGD dan / atau TIPS nanti.

          • Gabungan pengobatan endoskopi dan farmakologis terbukti mencapai kontrol perdarahan akut yang lebih baik daripada pengobatan endoskopi saja (Word Gastrology Organisation, 2013).
Selain itu ada beberapa metode endoskopi yang sering digunakan dalam terapi variceal yang akan dijelaskan dalam tabel di bawah ini (Lau and Sung, 2020) :

Metode

Meknisme

Keuntungan

Kekurangan

Visualisasi

Endoscopic variceal ligation

·         Obliterasi lengkap varises esofagus (OV)

·         Mudah digunakan

·         Lebih unggul dari skleroterapi

·         Memerlukan sesi endoskopi berulang

·         Risiko pasca-banding ulkus dan pembentukan striktur

 

Endoscopic glue injection

·         Solidifikasi varises lambung

Tingkat hemostasis inisial yang tinggi

Komplikasi langka yaitu emboli paru, trombosis vena limpa dan portal and

 

Endoskopik  injeksi lem dengan panduan ultrasonik ± melingkar

·         Penilaian sonografi dari aliran darah dengan Doppler

·         Memungkinkan visualisasi selama perdarahan masif

·         Tingkat perdarahan ulang rendah

·         Meminimalkan jumlah lem dan risiko emboli lem

·         Meminimalkan jumlah sesi endoskopi

·         Komplikasi langka yaitu ekstrusi lem dan emboli paru

·         Tergantung kemampuan



Hemostatic powder(TC325, Hemospray)

·         Non-absorbable mineral powders

·         Barrier penghalang mekanis dengan air

·    Kemampuan hemostatik awal yang tinggi

·    Mudah digunakan

·    Peran potensial dalam tumor berdarah atau lesi difus

·    Tingkat perdarahan ulang yang tinggi, durasi terapi yang pendek

·    Harus diikuti dengan endoskopi second-look atau modalitas hemostatik kedua

·    Komplikasi yang jarang terjadi adala perforasi lambung dan obstruksi bilier

 

Fully covered self-expandable metal stent

Kontrol sementara dari perdarahan varises refrakter

·    Tingkat keberhasilan klinis lebih tinggi dari balon tamponade

·    Menurunkan risiko robekan esofagus, iskemia mukosa, dan pneumonia aspirasi

·         Persediaan terbatas

·         Tergantung kemampuan

 

3.      Penatalaksanaan Perdarahan Non Variseal

Gambar 3. Tatalaksana berdasarkan klasifikasi Forrest

Pendekatan multidisipliner, dengan melibatkan spesialis penyakit dalam/gastroenterologist, radiologist intervensional, dan ahli bedah/bedah digestif. Stratifikasi pasien ke dalam kategori risiko rendah atau tinggi untuk kejadian pendarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor Blatchford dan Rockall. Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang diduga masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat dibutuhkan. Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan untuk pasien dengan PUP. Suasana lingkungan asam menyebabkan penghambatan agregasi trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya lisis pada bekuan yang telahnterbentuk.

-          PPI dalam bentuk bolus maupun drip, jika tidak ada bisa diberikan antagonis H2 reseptor

-          Sitoprotektor : Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x1 tab atau Rebamipide 3x100mg

-          Injeksi vit K 3x1 ampul, untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati

Kadar hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi adalah 8 mg/dL dan jika akan dilaksanakan endoskopi terapeutik maka kadar hemoglobin minimal adalah 10 mg/dL dengan catatan pasien juga dalam keadaan hemodinamik stabil. Terdapat beberapa terapi endoskopi yang dapat menjadi pilihan dalam penatalaksanaan perdarahan non variseal, yaitu penyuntikan adrenaline yang telah diencerkan, termokoagulasi, dan hemoclip. Tindakan endoskopi ini sebaiknya dilakukan dalam 24 jam setelah didapatkan adanya manifestasi klinis perdarahan SCBA dengan Forrest I dan Forrest IIA (Sung dkk, 2011; PGI, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015).

Selain itu ada beberapa metode endoskopi yang sering digunakan dalam terapi nonvariceal yang akan dijelaskan dalam tabel di bawah ini (Lau and Sung, 2020) :

Metode

Meknisme

Keuntungan

Kekurangan

Visualisasi

Over-the-scope clip (OTSC)

·         Mechanical hemostasis

·         Klip kaliber besar terbuat dari logam nitinol dengan shape-memory effect

 

·         Tingkat keberhasilan klinis yang tinggi

·         Dapat digunakan sebagai terapi pada perdarahan refrakter

Komplikasi berat jarang terjadi, obstruksi usus, mikroperforasi, dan deviasi posisi



Diluted epinephrine

·         Vasoconstriction

·         Efek tamponade

Kontrol sementara perdarahan untuk membantu visualisasi

Tingkat perdarahan ulang yang tinggi jika digunakan sebagai monoterapi

 

Thermal coagulation

·         Menghasilkan energi panas atau arus listrik

·         Koaptasi pembuluh darah

Hemostasis definitif

·                     Resiko perforasi

·                     Pendarahan tertunda karena cedera termal

 

Through-the-scope clip(TTSC)

·         Mechanical hemostasis

·   Desain baru klip yang dapat diputar dan dibuka kembali

·   Cedera termal minimal (lebih baik dalam kasus koagulopati)

Sulit untuk mengakses ulkus fibrotic dengan akses endoskopi terbatas

 

Hemostatic powder(TC325, Hemospray)

·         Non-absorbable mineral powders

·         Barrier penghalang mekanis dengan air

·    Kemampuan hemostatik awal yang tinggi

·    Mudah digunakan

·    Peran potensial dalam tumor berdarah atau lesi difus

·    Tingkat perdarahan ulang yang tinggi, durasi terapi yang pendek

·    Harus diikuti dengan endoskopi second-look atau modalitas hemostatik kedua

·    Komplikasi yang jarang terjadi adala perforasi lambung dan obstruksi bilier



Endoscopic suturing device (Apollo Overstitch)

Melindungi ulkus peptic dari lingkungan asam intragastrik

Pilihan terapi pada perdarahan refrakter

·         Persediaan terbatas

·         Tergantung kemampuan



Tatalaksana eradikasi H. pylori

      Tes H. pylori direkomendasikan pada semua pasien perdarahan ulkus peptikum à jika (+), diberikan terapi tripel selama 1 minggu

      Setelah pemberian terapi eradikasi, pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan menggunakan urea breath test (UBT) atau H.pylori stool antigen test à jika eradikasi berhasil, PPI dihentikan

      Pada pasien yang memerlukan terapi NSAID, sebaiknya dari golongan COX-2-selective dengan dosis efektif terendah ditambah PPI

      Pasien ulkus idiopatik (non-H. pylori, non-NSAID) perlu diberi PPI jangka panjang (PGI, 2012)

 

H.    Komplikasi Perdarahan SCBA

Komplikasi perdarahan SCBA dapat timbul dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah terjadi perdarahan, bahkan dapat pula timbul setelah beberapa minggu setelah terjadinya perdarahan SCBA. Berdasarkan Ferguson dan Mitchell (2005), komplikasi perdarahan SCBA dapat dibedakan menjadi komplikasi dini dan komplikasi lambat. Komplikasi dini merupakan komplikasi yang timbul selama perawatan di rumah sakit atau 5-7 hari setelah terjadinya perdarahan SCBA, sedangkan komplikasi lambat adalah komplikasi yang timbul setelah keluar rumah sakit atau 7 harisetelah terjadinya perdarahan SCBA (Ferguson dan Mitchell, 2005; Maggio dkk, 2013).

Komplikasi perdarahan SCBA dapat berupa perdarahan ulang dan kematian. Tingkat kematian dan perdarahan ulang pada perdarahan SCBA sangat bergantung pada penyebab perdarahan, yaitu variseal atau non variseal. Pada perdarahan variseal risiko terjadi perdarahan ulang cukup tinggi, sekitar 60%, terutama pada 6 minggu pertama setelah perdarahan SCBA terjadi (Cremers dan Ribeiro, 2014). Risiko perdarahan ulang pada perdarahan non variseal dengan klasifikasi Forrest IIB, IIC dan III didapatkan lebih rendah bila dibandingkan perdarahan variseal, yaitu sekitar 5-15% (Leerdam, 2007). Kematian dapat disebabkan oleh perdarahan masif yang menimbulkan syok hipovolemik atau pun perburukan kondisi terkait penyakit-penyakit komorbiditas yang ada pada pasien, seperti penyakit ginjal kronik, penyakit jantung kongestif, dan kondisi infeksi (Cappel dkk, 2008; Sonnenberg, 2012).

I.     Stratifikasi Risiko Komplikasi

Stratifikasi risiko komplikasi bertujuan untuk mendeteksi lebih awal kelompok pasien dengan perdarahan SCBA yang akan mengalami komplikasi, sehingga dapat dilakukan intervensi dan penatalaksanaan yang lebih baik guna mencegah timbulnya komplikasi tersebut. Umumnya stratifikasi risiko komplikasi menggunakan sistem berbasis skor agar mudah untuk diaplikasikan. Menurut Stanley (2012), sistem evaluasi berbasis skor untuk yang baik adalah mudah dihitung, akurat dan relevan untuk menilai hasil yang diinginkan, dan dapat digunakan pada awal manifestasi klinis, dalam hal ini sebelum dilakukan evaluasi endoskopi Saat ini telah banyak sistem stratifikasi risiko komplikasi perdarahan SCBA yang telah dikembangkan. Sistem-sistem stratifikasi tersebut umumnya dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu sistem stratifikasi risiko yang menggunakan tindakan endoskopi dan sistem stratifikasi risiko yang tidak menggunakan endoskopi. Ada pun sistem stratifikasi yang telah direkomendasikan untuk mengevaluasi risiko komplikasi perdarahan SCBA adalah sistem GBS dan Rockal score (NICE, 2011; PGI, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015).

·    Sistem Stratifikasi Risiko Komplikasi Menggunakan Endoskopi

·         Rockall Score

Sistem stratifikasi ini diperkenalkan oleh Rockall dkk pada tahun 1997. Sistem skor ini terdiri atas 2 bagian, yaitu pre-endoskopi yang dikenal dengan clinical Rockall score dan post-endoskopi atau yang dikenal dengan full Rockal score. Sistem stratifikasi ini menyebutkan semakin tinggi skor yang didapat, maka risiko komplikasi berupa perdarahan ulang dan kematian pun semakin meningkat. Skor 8 (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).

 

Gambar 4. Skor Rockall

 

·         Sistem Stratifikasi Risiko Komplikasi Tanpa Endoskopi

·         GBS (Glasgow-Blatchford Score)

GBS pertama kali diperkenalkan oleh Blatchford dkk untuk menilai perlunya perawatan rumah sakit untuk intervensi (transfusi darah, tindakan terapi endoskopi atau pembedahan) dan risiko kematian pada perdarahan SCBA. Uji validasi yang dilakukan pada tahun 2000 terhadap sistem skor ini menyebutkan bahwa nilai GBS 0 merupakan kelompok dengan risiko rendah dan dapat menjalani rawat jalan, sedangkan semakin tinggi nilai GBS maka mengindikasikan perlunya tindakan intervensi untuk mencegah komplikasi perdarahan SCBA (Blatchford dkk, 2000). Skor ini telah dipergunakan secara luas untuk menilai risiko komplikasi perdarahan SCBA akibat perdarahan non variseal dan disebutkan pula dari beberapa penelitian bahwa skor ini memberikan hasil yang lebih baik untuk memprediksi komplikasi yang dapat timbul pada perdarahan SCBA dibandingkan dengan Rockall score (Pang dkk, 2010; Jeune dkk, 2011; Ahn dkk, 2013).


 

Gambar 5. Skor Blatchford

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



DAFTAR PUSTAKA

Berzigotti, A. and Bosch, J., 2018. Diagnostic Methods for Cirrhosis and Portal Hypertension. Cham: Springer International Publishing.

Brecque, L., Khan, A., Sarin, S. and Le Mair, A., 2014. Esophageal varices. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines.

Djumhana A. 2011. Perdarahan Akut Saluran Cerna. Bandung: FK UNPAD.

Friedlander J, Mamula P. 2011. Gastrointestinal Hemorrhage in Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, IVth Ed. Philadelphia:Elsevier.

Hadi S. 2010. Perdarahan Saluran Makan. Bandng: PT Alumni.

Laine L, Jensen DM. 2012. Management of patients with ulcer bleeding. Am J Gastroenterol.,107:345- 60

Lau, L. and Sung, J., 2020. Treatment of upper gastrointestinal bleeding in 2020: New techniques and outcomes. Digestive Endoscopy, [online] 33(1), pp.83-94. Available at: <https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/den.13674> [Accessed 1 June 2021].

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2019. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam: Panduan Praktik Klinis. Jakarta: InernaPublishing

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2012. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Atas non Varises di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia

Ponijan AP. 2012. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Medan: FK USU.

Shah VH. 2010. Sleisenger and Fordan’s Gastrointestinal and Liver Disease Pathophysiology Diagnosi/Management 9th edition vol 2. USA: Saunder Elsevier.

Soll AH, Graham YD. 2015. Peptic ulcer disease. In: Yamada T, ed. Textbook of gastroenterology.

Turner JR. 2010. The gastrointestinal tract. In: Kumar V, Abbas A.K, Fausto N, Aster J.C. Robbins and cotran pathologis basis of disease. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc; 763-70.

Comments

Popular posts from this blog

Manfaat Limit Dalam Kehidupan Sehari-hari

Pakaian Adat Jawa Tengah Pria

Pakaian Adat Jawa Tengah Perempuan