Artikel ini merupakan ringkasan penulis dari 2 kitab kecil, berjudul "Al Manhajiyyah fii Thalabul Ilmi” karya Syaikh Abul Hasan Ali Ar Raazihiy dan "Khulāshah Ta’dzhimul ‘Ilm" yang ditulis oleh Fadhilatu Syaikh Shalih Ibn Abdillah Ibn Hamad Al-Ushaimi, dan halaqah silsilah Ilmiyah ustadz Dr. Abdullah Roy tentang mengagungkan ilmu.
1. Jujur kepada Allah dan mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu, dan membersihkan tempat ilmu
Allah berfirman “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (al Bayyinah 5)
- Wajib atas seorang penuntut ilmu mengikhlaskan niatnya didalam menuntut ilmu dan menjadikan satu-satunya tujuannya dalam menuntut ilmu hanyalah untuk mengharap wajah Allah. Dan wajib atas seseorang untuk berhati-hati didalam jalannya menuntut ilmu agar tidak terjatuh kepada tujuan yang buruk yang mana seseorang menuntut ilmu dengan mengharap tujuan dunia yang fana serta mengharap pujian manusia atasnya.
- Dan menjadikan perjalanannya didalam menuntut ilmu dengan tujuan untuk menjaga dan memelihara agama ini, serta bertujuan untuk mengamalkan ilmu. Sehingga tidak semata-mata hanya ingin menambah wawasan dan ma'lumat atau hanya ingin menghafal matan-matan ilmu. Lebih-lebih di zaman kita ini yang mana banyak manusia mengerti tentang ilmu namun sedikit yang mengamalkannya.
- Banyak manusia yang hadir majlis ilmu malah seakan 'tak terlihat' (tdk ingin menampakkan dirinya karena kekhawatiran akan riya' dan kesombongan terhadap ilmu dan amalannya) bahkan berperilaku seperti orang-orang jahil yang membawa syahadahnya kesana kemari namun tidak memiliki sikap wara’ kecuali hanya julukan saja
- Al Baghdadi mengatakan “Seyogyanya bagi setiap penuntut ilmu untuk senantiasa berusaha mengikhlaskan niatnya didalam menuntut ilmu, dan senantiasa memperbaharui kesabarannya didalam kebulatan tekadnya. Maka apabila dia telah melakukan itu semua, maka sungguh telah layak baginya memperoleh apa yang dia cita-citakan”
- Apabila hati kita bersih, maka ilmu akan semakin masuk. Hal yang mengotori hati adalah syahwat dan syubhat. Abu Hurairah meriwayatkan "Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, namun Dia melihat hati dan amalan kalian" (HR Muslim)
Barang siapa yang mensucikan hatinya, maka ilmu itu layak untuk menetap disitu. Barang siapa yang tidak membersihkan hati dari kotorannya dan malah membiarkannya, maka ilmu tak akan menetap disitu.
2. Merendahkan diri, berdoa, dan memasrahkan urusannya kepada Allah di setiap waktu
Allah berfirman "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al Baqarah 186)
- Hendaknya para penuntut ilmu senantiasa menghadap kepada Allah dengan doanya, selamanya. Terutama ketika seseorang tertimpa kesulitan dalam memahami suatu permasalahan.
- Al 'Alamah Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata di dalam kitabnya Hilyah Thalibil Ilmi mengatakan "Wahai para penuntut Ilmu, Kuatkanlah Motivasi, Tuangkanlah didalam doa kepada Allah dan mohonlah pertolongan kepadaNya, maka akan terurai segala kesulitan di HadapanNya”
- Ibnu Taimiyyah bila mendapatkan kesusahan dalam menafsirkan ayat, beliau berdoa
Rasulullah mengajarkan sebuah doa
3. Mengutamakan pondasi ilmu dan qawaidnya
Apabila seseorang ingin menuju kepada sebuah tempat maka dia harus mengetahui jalan yang dapat mengantarkan ke tempat tersebut. Dan apabila ada banyak jalan-jalan menuju kepadanya, maka dia akan mencari jalan yang tercepat dan termudah untuk dapat sampai ke tempat tersebut.
Dan setelah itu, Sungguh ilmu adalah samudera yang tidak akan pernah seseorang sampai pada penghujungnya...
Namun dengan memiliki pondasinya akan didapatkannya kemudahan Untuk menemukan jalan padanya...
Maka ambillah dasar-dasar pondasinya Karena Barangsiapa lalai darinya maka tidak akan pernah tiba pada tujuannya
Al Ushul (Pondasi Ilmu) adalah Dalil-dalil yang datang dari Al Qur’an dan Sunnah, serta Kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip yang diekstrak dengan metode ittiba’ dan istiqra’ (penelitian mendalam).
Syaikh Shalih Ibnu Utsaimin mengatakan dalam kitabnya wasiyah dzahabiyyah liabnail ummatil islamiyah "“Aku anjurkan kepada kalian untuk senantiasa memberikan perhatian kepada kaidah-kaidah ilmu dan prinsip-prinsipnya. Kaidah- kaidah Syar’iyyah seperti Gunung-gunung yang kokoh yang tidak akan berpindah meski tertempa angin. Karena barangsiapa yang tidak memiliki pondasi keilmuan maka dia tidak akan sampai pada puncaknya…… "
4. Perhatian dalam menghafal ringkasan matan dari bidang ilmu yang dipelajari
Al Alamah As-Si'di berkata “Maka hendaknya seorang penuntut ilmu itu bersungguh-sungguh dalam menghafal matan yang paling ringkas diantara ringkasan-ringkasan matan dalam bidang ilmu yang sedang dia dalami, karena mustahil dan hampir tidak mungkin baginya menghafalkan secara lafadz (daripada matan-matan yang panjang). Selanjutnya hendaknya dia ulang berkali-kali dengan mentadabburi maknanya. sampai kokoh dan mengakar maknanya didalam hatinya kemudian setelah itu hendaknya dia lanjutkan dengan kitab-kitab seperti tafsir dan penjelasannya, serta cabang-cabang ilmu lainnya. Karena itulah Pondasi ilmu akan membantunya untuk mengenali dan memahami apa yang sedang dipelajarinya”
Ketika sampai tahap ini, selalulah untuk meminta kepada Allah untuk menolongnya, memberkahi ilmunya, dan memberkahi jalan yang sedang ditempuh.
Syaikh Utsaimin berkata
Keharusan bagi penuntut ilmu untuk
• Dahulukan menghafal matan ringkas dari yang dipelajari
• Menyetorkan/menilaikannya ke guru yang mengajari
• Tidak terlalu menyibukkan dengan matan yang panjang, dahulukan yang ringkas sampai menguat, setalah itu barulah ke kitab yang lebih besar.
• Jangan tergesa pindah ke yang matan lain tanpa adanya keperluan.
Al Alamah Al Zurnuji berkata dalam kitabnya “Ta’limul Muta’alim” “Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu untuk mengokohkan ilmunya dan bersabar atas sebuah kitab sampai dia tidak meninggalkan satupun faidah yang bisa jadi akan dia sia-siakan. Dan ketika berada pada sebuah bidang ilmu janganlah menyibukan diri dengan bidang ilmu yang lain sebelum menguasainya dengan baik terlebih dahulu dan seseorang hendaknya berdiam di satu negeri dan tidak berpindah ke negeri yang lain tanpa adanya kepentingan, karena semua ini termasuk perkara yang memecah urusanurusannya, membimbangkan hatinya, menyia-nyiakan waktunya, dan mengganggu konsentrasi belajarnya"
• Mengambil fawaid daan dhowabit dari setiap faidah yang muncul tiba-tiba atau blm pernah disebutkan kepada kita (istilahe bisa mengambil faidah dari mana saja asal ada kaidah dasarnya) dan mengikatnya dengan menulis. Jangan sekalipun engkau katakan “Masalah ini aku sudah mengetahuinya dan aku tak perlu menulisnya”
5. Fokuskan dirimu dan cari teman yang mendukung
Himpunlah semangat dirimu didalam pencarian ilmu sepanjang engkau menempuh manhaj dan jalanmu ini, dan mintalah bantuan kepada kawan dan saudaramu ketika engkau membutuhkan bantuan didalam ilmu dan jangan engkau malu ketika tidak tahu, maka katakanlah kepada mereka yang dapat membantumu, “Wahai fulan, bantulah aku meneliti permasalahan ini dengan merujuk kepada kitab ini”.
Az-Zurnuji berkata didalam kitabnya Ta’limul Muta’alim : “Adapun seseorang memilih sahabat (dalam ilmu) maka hendaknya dia memilih sahabat atau teman yang bermanfaat, yang wara’ dan orang yang memiliki akhlak yang mulia, dan hendaknya dia menghindarkan dirinya dari orang yang malas, yang rusak, dan yang suka dengan fitnah"
6. Hendaknya bertalaqqi kepada guru
Manfaat bertalaqqi ke guru
• Mempercepat Jalan didalam menuntut ilmu, karena akan nampak lebih mudah mana yang benar, kuat, atau yang salah, lemah
• Akan lebih cepat paham, Karena seseorang yang membaca kitab bisa jadi dia akan mendapati ungkapan-ungkapan yang tidak dia pahami, sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut tentang ungkapan tersebut, yang mana tentu saja yang seperti ini akan banyak menghabiskan waktu.
• Terjalin hubungan yang kuat antara guru dan murid
Syeikh Shalih Utsaimin mengatakan “Dan wajib atas seseorang yang sedang menuntut ilmu untuk talaqqi dari seorang pengajar yang terpercaya ilmu dan agamanya, dan ini adalah jalan yang tercepat dalam menuntut ilmu, dan akan memudahkan dirinya untuk menguasai ilmu. Karena apabila seseorang mengambil ilmu dari isi buku-buku terkadang menyesatkan penuntut ilmu yang mana dia tidak faham isi dari buku tersebut atau bahkan mendapatkan pemahaman yang salah karena ilmunya yang terbatas, atau sebab-sebab yang lain. Adapun yang menempuh jalannya dengan seorang guru maka didalamnya akan banyak muncul pembicaraan dan diskusi yang mana dibangun diatas ilmu, sehingga akan terbuka pintu-pintu pemahaman dan kebenaran yang banyak bagi seorang penuntut ilmu“
7. Jangan berangan angan untuk belajar atau membaca satu kitab berkali kali (alias menunda)
Ibnu Badran dari Gurunya Muhammad bin Utsman berkata : “Selayaknya bagi seseorang yang membaca sebuah kitab untuk tidak bepikir membacanya untuk kedua kalinya. Karena angan-angan yang seperti ini menghalangi seseorang dari memahami keseluruhan kitab, bahkan harus baginya untuk tidak berfikir kembali untuk kedua kalinya mempelajari kitab tersebut, selamanya"
Karena pikiran kayak gini akan menimbulkan rasa malas-malasan dalam belajar.
8. Sabar atas panjangnya jalan dalam menuntu ilmu
Ilmu diraih dengan Kerja Keras yang kontinyu dan janganlah berpindah-pindah dari satu cabang ilmu kepada cabang ilmu yang lain kecuali setelah dia menguasainya. Maka dari itu pula hendaknya seseorang tidak berpindah dari kitab yang satu kepada kitab yang lain, atau berpindah dari seorang guru kepada guru yang lain kecuali ada hajat didalam jalan yang engkau tempuh didalam menuntut ilmu
Syaikh Shalih Utsaimin mengatakan “Dan diantara adab yang paling penting dimiliki oleh seorang penuntut ilmu adalah menghiasi dirinya dengan “Kekokohan” dan makna kekokohan disini adalah Sabar dan Tekun, dan selalu berusaha untuk mengusir kejenuhan dan kejemuan”
Yahya ibn abi katsirin mengatakan
لاَ يُسْتَطَاعُ العِلْمُ بِرَاحَةِ الجِسْمِ
"tidak didapatkan ilmu dengan badan yang berleha-leha"
Al Ashma'yu berkata "Barangsiapa tidak pernah merasakan hinanya belajar barang sesaat maka ia akan berada dalam hinanya kebodohan selama-lamanya."
9. Menghormati orang yang punya ilmu dan menghargai mereka.
إنَّ فضل العلماء عظيمٌ، ومنصِبهم منصِبٌ جليلٌ
Sesungguhnya keutamaan para ulama adalah besar dan kedudukan mereka adalah kedudukan yang tinggi
لأنَّهم آباء الرُّوح
karena sesungguhnya mereka ini adalah bapak-bapak bagi ruh kita, mereka ini para ulama para guru para Syaikh yang kita belajar dari mereka ini adalah bapak bagi ruh kita.
فالشَّيخ أبٌ للرُّوح كما أن الوالد أبٌ للجسد
Maka guru kita itu adalah bapak bagi ruh kita sebagaimana orang tua kita atau bapak kita itu adalah bapak bagi jasad kita.
Jasad kita bapaknya adalah bapak kandung kita adapun guru kita maka itu adalah bapak kita yaitu bapak bagi ruh kita, jasad kita punya bapak dan ruh kita juga punya bapak. Maka sebagaimana kita menghormati bapak kandung kita maka hendaklah kita memiliki penghargaan dan penghormatan terhadap guru kita yang merupakan bapak bagi ruh kita.
فالاعتراف بفضل المعلِّمين حقٌ واجبٌ
Maka mengakui tentang keutamaan para guru ini adalah sebuah kewajiban.
Kita banyak tahu ilmu kita banyak mengetahui perkara yang sebelumnya kita tidak tahu sebabnya adalah dengan melewati dengan sarana para guru kita maka kita harus mengakui tentang keutamaan mereka.
و استنبَط هٰذا المعنىٰ من القرآن محمَّدُ بن عليٍّ الأُدْفُويُّ فقال
Dan telah mengambil makna ini dari Al-Qur’an seorang ulama yang bernama Muhammad ibn Ali Al-Udfuwwi rahimahullah, beliau mengatakan
إذا تعلَّم الإنسان من العالم واستفاد منه الفوائد، فهو له عبدٌ
Apabila seseorang belajar dari seorang yang alim belajar dari gurunya dan mengambil faedah dari beliau banyak faedah maka murid tadi kedudukannya adalah seperti seorang budak bagi gurunya.
Apabila salah seorang belajar dari seorang guru dan mengambil faedah dari beliau maka murid tadi kedudukannya seperti seorang budak bagi gurunya, beliau mengatakan yang demikian dari
قال الله تعالىٰ
Allāh ﷻ mengatakan
وَإِذْ قَالَ مُوْسَىٰ لِفَتَاهُ﴾ الكهف: الآية 60
Dan ketika Musa berkata kepada فَتَاهُ (budaknya), dalam bahasa Arab budak itu dikatakan abdun atau dikatakan fatah, disini dikatakan oleh Allāh ﷻ ketika Musa berkata kepada fatahnya
وهو يُوشَع بنُ نونٍ
yaitu Nabi Yusya Ibn Nun, ini adalah seorang Nabi dan Musa Alaihissalam juga seorang Nabi sekaligus Rasul, ketika Musa berkata kepada fatahnya dan ternyata dia adalah seorang seorang Nabi
ولم يكن مملوكًا له
padahal tentunya Yusya disini bukan seorang budak, seorang nabi tidak ada yang budak semua nabi adalah orang-orang yang merdeka.
Kenapa disini Allāh ﷻ mengatakan Musa berkata kepada fatahnya padahal dalam bahasa arab fatah itu artinya adalah budak, kenapa Allāh ﷻ mengatakan Musa berkata kepada budaknya padahal yang dimaksud disini adalah Yusya bin Nun dan dia bukan budak dia adalah seorang nabi yang merdeka
وإنَّما كان مُتَلْمِذًا له
dinamakan demikian karena Yusya Ibn Nun belajar dari Nabi Musa, Nabi Musa adalah gurunya
متَّبِعا له
dan dia mengikuti nabi Musa, mempelajari dan juga mengikuti bukan hanya belajar saja tapi juga mengikuti nabi Musa mengikuti ajaran beliau
فجعله الله فتاه لذلك
maka Allāh subhanahu wa ta’ala menjadikan Yusya Ibn Nun sebagai fatahnya, dianggap itu sebagai fatahnya (budaknya).
Ini menunjukkan bahwasanya seperti yang disampaikan oleh Muhammad ibn Ali kalau ada seseorang belajar dari seorang guru maka kedudukan dia adalah seperti budak bagi guru tadi, ini menunjukkan keharusan seseorang menghormati gurunya karena ini adalah bentuk pengagungan dia terhadap ilmu, menghormati orang yang memiliki ilmu.
و قد أمر الشَّرع برعاية حقِّ العلماء؛ إكرامًا لهم، وتوقيرًا، وإعزازًا
Dan syariat ini telah memerintahkan untuk menjaga hak para ulama karena merekalah yang membawa ilmu mereka yang menyampaikan ilmu sehingga agama ini menjaga dan memerintahkan kita untuk menjaga hak para ulama dan menghormati mereka dan menghargai mereka memuliakan mereka.
فروى أحمد في المسند
Maka Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad
عن عبادةَ بنِ الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
Al-Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad dari Ubadah Ibn Shamit bahwasanya Rasulullah Sallalahu Alaihi Wasallam bersabda
ليس من أُمَّتي من لم يُجِلَّ كبيرنا، ويرحمْ صغيرنا، ويعرفْ لعالمنا حقَّه
Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang tua dan tidak menyayangi yang kecil dan tidak mengetahui hak bagi seorang ‘alim.
Ucapan Beliau ﷺ bukan termasuk umatku maksudnya adalah bukan termasuk orang yang mengikuti jalanku, berarti jalan Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam adalah menghormati yang lebih tua menyayangi yang lebih muda dan memperhatikan dan mengetahui hak para ulama kita, menghargai mereka menghormati mereka beradab di depan mereka maka ini adalah bentuk pengagungan kita terhadap ilmu agama ini ketika kita menghargai orang-orang yang membawa ilmu tadi
ونقل ابن حزمٍ الإجماعَ على توقير العلماء وإكرامهم
Ibnu Hazam telah menukil ijma’ (kesepakatan) atas keharusan untuk menghormati para ulama dan memuliakan mereka, ini adalah ijma’ tidak ada di antara mereka yang menyelisihi, semuanya bersepakat kewajiban kita untuk menghormati dan menghargai para ulama kita.
فمن الأدب الاَّزم للشَّيخ علىٰ المتعلِّم – ممَّا يدخل تحت هٰذا الأصل – التَّواضعُ له
Diantara bentuk penghormatan kita dan adab kita kepada guru kita dan ini adalah sebuah kewajiban bagi seorang murid, masuk dalam prinsip ini adalah rendah hati di hadapan seorang guru, meskipun mungkin kadang muridnya mungkin lebih cerdas daripada gurunya tapi termasuk adab di hadapan seorang guru adalah tawadhu’, kita harus merendahkan hati kita di hadapan guru kita, jangan sombong di hadapan gurunya.
والإقبالُ عليه
Dan juga menghadapkan diri kepadanya, bukan membelakangi bukan memalingkan dirinya dari gurunya, ini termasuk penghargaan dan penghormatan kepadanya baik di dalam majelis ataupun ketika bertemu di jalan maka dia berusaha untuk menyapa terlebih dahulu kepada gurunya bukan justru malah dia mungkin pura-pura tidak melihat pura-pura tidak tahu
وعدمُ الالتفاتِ عنه
dan tidak berpaling darinya, misal untuk menghadapkan berarti kita sedang konsen untuk mendapatkan ilmu dari beliau
ومراعاةُ أدب الحديث معه
dan juga menjaga adab-adab berbicara dengan beliau, jangan menyamakan seperti kalau dia berbicara dengan temannya
وإذا حدَّث عنه عظَّمه من غير غُلوٍّ
kalau dia sedang menukil ucapan beliau (berkata guru kami) maka hendaklah dia menunjukkan penghormatan terhadap gurunya tadi, misalnya mengatakan syaikhuna atau ustadzuna
من غير غُلوٍّ
tapi tanpa berlebihan, dia belajar dari seorang Ustadz misalnya kemudian memberikan gelar dengan Allamah misal atau Al-Fahhamah ini berlebihan, syaikh-syaikh yang besar saja kadang mereka tidak mau dikatakan Allamah karena ini sudah gelar yang besar. Kita punya guru misalnya di masjid kita kemudian kita mengatakan berkata guru kami Al-Allamah padahal ini adalah laqab yang besar, maka ini ghuluw (berlebihan)
بل يُنزلُهُ منزلَتَه
tapi kita menempatkan sesuai dengan kedudukan beliau, kita mengatakan berkata Ustadz ini menunjukkan ta’dzhim (pengagungan dan penghormatan) kita tapi jangan berlebihan
لئلاَّ يَشينه من حيث أراد أن يمدحه
karena supaya tidak justru menjadikan jelek beliau, kita ingin memujinya tapi ketika kita berlebihan justru akan menjadi sum’ah beliau menjadi jelek, orang tahu bahwasanya beliau tidak sampai derajatnya kepada Allamah atau Syaikhul Islam atau dikatakan Al-Hafidz.
Dia tahu kadar ilmu dari gurunya tadi kita ingin memuji beliau kemudian kita mengatakan memberikan laqab Syaikhul Islam, yang ada di pikiran orang yang mendengarnya ini justru malah akan su’udzon kepada guru tadi ‘mungkin gurunya yang menyuruh untuk digelari sebagai Syaikhul Islam atau Al-Hafidz atau Allamah’, kita ingin memujinya justru menjadikan sum’ah dan wibawa dari guru kita ini malah justru semakin hancur atau menjadi jelek wibawanya.
وليشكرْ تعليمَه ويدعُ له
Diantara bentuk penghargaan kita dan pengagungan kita terhadap guru kita adalah mengucapkan syukur dan terima kasih atas pengajaran yang beliau lakukan, ini termasuk pengagungan dan juga penghargaan terhadap guru kita
ويدعُ له
dan mendoakan untuk beliau, mendoakan bukan hanya sekedar di depan beliau tapi juga di dalam doa-doa kita di dalam kehidupan kita sehari-hari, mungkin dalam sujud kita mungkin dalam sepertiga malam yang terakhir kita mendoakan untuk guru kita, maka ini bagian dari penghargaan kita dan penghormatan kita terhadap para ulama, dan ini pelaksanaan terhadap hadits Nabi ﷺ
ليس من أُمَّتي من لم يُجِلَّ كبيرنا، ويرحمْ صغيرنا، ويعرفْ لعالمنا حقَّه
Ini bentuk pelaksanaan hadits Nabi ﷺ yaitu dengan cara mendoakan dengan kebaikan.
ولا يُظهرِ الاستغناءَ عنه
Jangan kita menampakkan di depan guru kita bahwasanya kita tidak butuh, bertanya tapi ketika dijawab dia menoleh kesana atau menunjukkan bahwasanya dia tidak butuh dengan jawaban gurunya, kalau beliau sedang berbicara dengarkan dan nampakkan bahwasanya kita butuh dengan jawaban beliau dan sangat mengambil manfaat dari ucapan beliau.
ولا يؤُذِهِ بقولٍ أو فعلٍ
Dan jangan dia menyakiti seorang guru dengan ucapan maupun dengan perbuatan, harus menjaga
ولْيتلطَّفْ في تنبيهه علىٰ خطئه إذا وقعت منه زلَّةٌ
dan hendaklah dia berlemah lembut ketika dia mengingatkan gurunya atas kesalahan dia kalau memang terjadi zallah, beliau melakukan sebuah kesalahan maka kemudian kita ingin mengingatkan sebagai seorang murid maka hendaklah dengan lemah lembut, ini termasuk pengagungan dan penghargaan kita terhadap guru kita.
وممَّا تُناسب الإشارة إليه هنا
Dan di antara perkara yang pantas untuk disebutkan di sini
باختصار وجيزٍ
dengan secara singkat saja
معرفةُ الواجب إزاءَ زلَّة العالم، وهو ستَّة أمورٍ
yaitu mengetahui apa yang harus kita lakukan ketika terjadi kesalahan pada guru kita, guru kita seorang manusia bisa salah bisa benar kalau sampai terjadi kesalahan pada diri guru kita maka yang kita lakukan di sana ada enam perkara, yang pertama
الأوَّل: التَّثبُّت في صدور الزَّلَّة منه
Hendaklah kita tatsabbut (yakinkan) dulu bahwasanya kesalahan ini memang beliau lakukan, jangan sampai hanya sekedar qila wa qal (katanya dan katanya), yakin dulu itu memang terjadi pada diri beliau, misalnya ini ada ucapannya ini ada rekamannya
والثَّاني: التَّثبُّت في كونها خطأ
Yang kedua hendaklah kita yakinkan terlebih dahulu bahwasanya itu memang sebuah kesalahan, beliau lakukan tapi apakah benar itu sebuah kesalahan?
و هٰذه وظيفة العلماء الرَّاسخين، فيُسألون عنها
bagaimana kita mengetahui itu adalah sebuah kesalahan padahal beliau adalah seorang ‘alim juga, ini adalah tugas para ulama yang mereka dalam ilmunya
فيُسألون عنها
maka kita bertanya kepada ulama yang lain.
Kita berguru pada Syaikh A misalnya ternyata ada kesalahan ini maka kita bertanya kepada guru yang lain, Syaikh menurut pendapat Antum ini bagaimana keyakinan seperti ini nanti beliau yang menyampaikan beliau yang menyebutkan ini memang ada di antara ulama Ahlus sunnah yang mengatakan demikian atau beliau mengatakan iya ini bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah dan tidak ada ulama Ahlussunnah yang mengatakan demikian, ini yang menjawab para ulama juga, kita harus yakin bahwasanya itu adalah sebuah kesalahan. Kemudian yang ketiga
والثالث: ترك اتِّباعه فيها
jangan kita mengikuti beliau dalam kesalahan tadi, kalau memang itu adalah sebuah kesalahan dan benar-benar terjadi pada beliau maka jangan kita mengikuti beliau dalam kesalahan tadi.
والرَّابع: التماس العذر له بتأويلٍ سائعٍ
Yang keempat kita berusaha untuk mencari udzur bagi beliau dengan ta’wil yang masuk akal (yang benar), mungkin beliau belum membaca permasalahan ini atau mungkin beliau lupa, ini adalah udzur-udzur yang mungkin saja terjadi pada manusia karena beliau juga manusia ada kekurangannya.
والخامس
Yang kelima yang kita lakukan kalau guru kita salah
بذل النُّصح له بلطفٍ و سرٍّ، لا بعنفٍ و تشهيرٍ
berusaha untuk memberikan nasihat kepada beliau dengan lemah lembut dan rahasia, jangan dengan kasar dan juga jangan di depan orang banyak, kita harus menjaga kehormatan beliau.
والسَّادس: حفظ جَنابه، فلا تُهدَرُ كرامته في قلوب المسلمين
Yang keenam adalah kita berusaha untuk menjaga kewibawaan (kedudukan) beliau jangan sampai kemuliaan beliau dipecahkan dihancurkan di dalam hati-hati kaum muslimin.
Jadi kalau memang beliau memiliki kesalahan kita katakan Syaikh adalah seorang ulama diantara ulama-ulama Ahlusunnah Wal Jamaah namun di dalam masalah ini saya tidak sepakat, ini adalah perkara yang biasa Syaikh juga seorang manusia biasa mungkin beliau punya kesalahan punya kebenaran, beliau adalah tetap seorang ulama kita yang pantas untuk diambil ilmunya tapi dalam permasalahan ini kita tidak sepakat dengan beliau.
Ini berarti kita menjaga kedudukan ulama tadi dihati kaum muslimin jangan sampai mereka mendengar ucapan kita kemudian akhirnya benci terhadap Syaikh tadi padahal beliau adalah seorang ulama Ahlusunah Wal Jama’ah.
وممَّا يُحذَّرُ منه ممَّا يتَّصل بتوقير العلماء؛ ما صورته التَّوقير ومآله الإهانة والتَّحقير
Diantara yang perlu diingatkan disini yang berkaitan dengan penghormatan terhadap ulama apa yang bentuk luarnya itu seakan-akan menghormati tetapi hakikatnya adalah penghinaan, ini hati-hati kadang kita menyangka itu adalah penghormatan padahal itu adalah penghinaan sebenarnya, contohnya
كالازدحامِ علىٰ العالم
seperti berdesak-desakan kepada seorang ‘alim, kalau bertanya kepada beliau silahkan bagus tapi kalau sampai berdesak-desakan sampai mendorong Syaikh mungkin menjadikan sebagian guru jatuh gara-gara didesak-desak oleh orang yang ada di sekitarnya
والتَّضييقِ عليه
dan mempersempit ruang beliau atau tempat beliau
وإلجائه إلىٰ أعسر السُّبل
dan menjadikan beliau terpaksa berjalan di atas jalan yang susah.
Ini sebenarnya bukan penghormatan tapi penghinaan, penghormatan kita memberikan jalan kepada beliau memberikan keluasaan, adapun seseorang berdesak-desakan di sekitar Syaikh kemudian akhirnya menjadikan Syaikh tadi susah untuk berjalan bahkan sampai jatuh sebagian mereka maka ini penghinaan sebenarnya terhadap guru tadi bukan merupakan penghormatan.
10. Mengamalkan ilmu merupakan sebab kokohnya ilmu
Al Khatib Al Baghdadi rahimahullah berkata, “Aku menasehatkan kepadamu wahai para penuntut ilmu untuk senantiasa mengikhlaskan niat didalam menuntut ilmu, dan bersungguh-sungguh didalam mengamalkan ilmu, karena sesungguhnya Ilmu bagaikan sebuah pohon dan amal adalah buahnya, Maka tidaklah dikatakan bahwa seorang itu berilmu sampai dia mengamalkan ilmunya.
Dan dikatakan pula, bahwa ilmu adalah yang melahirkan, sedangkan amal adalah yang dilahirkan, ilmu harus senantiasa beriringan dengan amal. Dan tidaklah ilmu itu berdiri sendiri diluar amal, bahkan hendaknya kalian himpun keduanya. Dan tidak ada perkara yang lebih menyedihkan dibandingkan seorang Alim dengan ilmunya yang kemudian meninggalkan manusia sehingga menjadi rusaklah jalan mereka yang kemudian orang-orang bodoh mengajak manusia dengan kebodohannya menuju kepada peribadahan (tanpa ilmu)”
Allahu a'lam
8 Februari 2025
Kamar Dokter Jaga ICU RSUD Batang
Ulul Albab
referensi
Al Manhajiyyah fii Thalabul Ilmi” karya Syaikh Abul Hasan Ali Ar Raazihiy
"Khulāshah Ta’dzhimul ‘Ilm" yang ditulis oleh Fadhilatu Syaikh Shalih Ibn Abdillah Ibn Hamad Al-Ushaimi
HSI Abdullah Roy Bagian kitab Khulāshah Ta’dzhimul ‘Ilm
Comments
Post a Comment
Mari berkomentar dengan baik dan bijak.....