contoh kliping usaha pembelaan negara
Pada posting kali ini, saya akan memberikan sedikit tentang 'Usaha Pembelaan Negara'. Semoga bermanfaat...
TUGAS PKn
Disusun oleh : 1. Ulul Albab
3. Rizal Mantopani
Kelas :
IX A
Guru Mapel : Bp. Nurudin
Tugas :
Usaha Pembelaan Negara
MTs Muhammadiyah
Batang
Tahun Pelajaran
2012/2013
PARTISIPASI
DALAM USAHA PEMBELAAN NEGARA
A.
PENGERTIAN
Usaha
pembelaan negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh
kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa
dan negara yang seutuhnya.
Unsur-unsur
pembelaan negara:
1. Cinta Tanah Air
2. Kesadaran Berbangsa & bernegara
3. Yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara
4. Rela berkorban untuk bangsa & negara
5. Memiliki kemampuan awal bela negara
B.
DASAR HUKUM PEMBELAAN NEGARA
1. Pasal 27 UUD 1945 ayat 1 tentang kewajiban
setiap warga negara untuk ikut serta dalam usaha pembelaan negara
2. Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep
Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.
3. Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang
Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
4. Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang
Ketentuan Pokok Hankam Negara RI. Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
5. Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI
dengan POLRI.
6. Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI
dan POLRI.
7. Amandemen UUD '45 Pasal 30 ayat 1-5 dan pasal
27 ayat 3.
8. Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara.
9. Undang-Undang No.56 tahun 1999 tentang Rakyat
Terlatih.
C.
KOMPONEN PEMBELA NEGARA
1. Komponen utama
Pasal
27 ayat 2 nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa sistem pertahanan
negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentra Nasional Indonesia
sebagai komponen utama dan didukung oleh komponen cadangan dan komponen
pendukung.
2. Komponen cadangan
a. Warga negara
b. Sumber daya alam
c. Sumber daya buatan
d. Sarana dan prasarana nasional
Keempat unsur tersebut dipersiapkan dan
dimobilisasi(dikerahkan dan digunakan secara serentak) dalam rangka memperkuat
dan memperbesar komponen utama.
3. Komponen pendukung
a. Warga negara
b. Sumber daya alam
c. Sumber daya buatan
d. Sarana dan prasarana nasional
Keempat
unsur ini secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan
kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
D. HAK DAN
KEWAJIBAN WARGA NEGARA
Hak
dan kewajiban warga negara dalam upaya
pembelaan negara ditegaskan dalam pasal 9 ayat 2 UU RI nomor 3 tahun 2002 yang
menyatakan setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara yang diselenggarakan melalui:
1. Pendidikan kewarganegaraan
Pendidikan
kewarganegaraan masuk dalam kurikulum sekolah sebagai upaya memberikan
pengetahuan dan ketrampilan sekolah sebagai upaya membentuk warga negara yang
memiliki kesadaran bernegara,
2. Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib
Pelatihan
dasar kemiliteran diberikan kepada mahasiswa melalui kegiatan Resimen
Mahasiswa(Menwa) dan juga melalui keanggotaan Lindungan Masyarakat(LINMAS),
Perlawanan Rakyat(WANRA), Keamanan Rakyat(KAMRA). Mereka dapat didayagunakan
dan dimanfaatkan dalam melaksanakan bela negara jika dibutuhkan.
3. Pengabdian sebagai Prajurit Tentara Nasional
Indonesia
UU
RRI nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan, mempertahankan keutuhan
NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan
bangsa dan negara. Tugas tersebut dapat diwujudkan melalui:
a. Operasi militer untuk perang
b. Operasi militer untuk selain perang, misal
mengatasi gerakan separatis.
4. Pengabdian sesuai profesi
Adalah
pengabdian dari warga negara yang memiliki profesi tertentu dalam rangka
mendukung upaya pertahanan negara, memperkecil akibat yang ditimbulkan dari
perang, bencan alam dan bencana lainnya. Mereka adalah anggota PMI,POLRI,dan
TIM SAR.
Keterlibatan
warga negara dalam upaya pembelaan negara didasarkan pada suatu pemikiran
bahwa:
a. Warga negara dapat mewujudkan
rasa cinta terhadap negaranya dengan melakukan upaya bela negara demi
kelangsungan hidup bangsa
b. Bela negara merupakan kehormatan bagi setiap
warga negara sebagai wujud pengabdian kepada negara
c. Sebuah kenyataan bahwa kita cinta damai tetapi
lebih cinta kepada kemerdekaan dan kedaulatan
d. Kita anti penjajahan dan berpedoman pada
politik luar negeri bebas aktif
Pada
akhirnya usaha pembelaan negara dilakukan dalam rangka menjaga, melindungi
kedaulatan negara, keutuhan wilayah serta keselamatan bangsa dari segala bentuk
ancaman baik dari dalam maupun luar negeri.
PENUMPASAN
G-30 S PKI
A. Latar Belakang
PKI
merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan
Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari
pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang
mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang
mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi
penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta
anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan
Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan
dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan
mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada
era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh
dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan
korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
PKI
telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk
memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan persetujuan
dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima"
dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Dari
tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk
Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan
semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian"
kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu
petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan
besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah
berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya
untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah
dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan
bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita
perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini
dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di
sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus
mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah
merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit
memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia
berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat
setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat
Indonesia, termasuk para komunis".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para
pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak
berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak
lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim
militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di
dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk
melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah
berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam
batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer,
berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan
dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Peristiwa
Pada
30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang
loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan
penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut
adalah:
•
Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
•
Mayjen TNI R. Suprapto
•
Mayjen TNI M.T. Haryono
•
Mayjen TNI Siswondo Parman
•
Brigjen TNI DI Panjaitan
•
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal
TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat
dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution
dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan
tersebut.
Selain
itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
• AIP
Karel Satsuit Tubun
•
Brigjen Katamso Darmokusumo
•
Kolonel Sugiono
Para
korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi
pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan
berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari
perlindungan.
Pada
tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya,
dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera
menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung
"pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965,
pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan
khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Dalam
sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan
Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan
atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang
sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian
dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11
Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain
di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang
berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan
pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Lima
bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah
Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk
mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya.
Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang
PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai
presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967. Kepemimpinan PKI terus
mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang
telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November,
tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Dalam
bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka
yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau
dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa
jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang
konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun
diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan
yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut
dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat
Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu
"terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta
anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan
puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan
sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua
anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji
terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan
dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan
sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau
mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita
tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di
Pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000
orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando
elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini.
Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang
mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang
desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan
kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para
terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan
mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Cina"
terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi
mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan
petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000
orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen
sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto,
Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September
diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1
Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila
PENUMPASAN
RMS
1.
LATAR BELAKANG
A.
Krisis Politik
Bermula
ketika Urbanus Pupella, pimpinan PIM mengeluarkan pernyataan tidak ingin masuk
dalam federasi, tetapi mau bergabung dengan Republik Indonesia . Pada 19
Januari 1950 tiba anggota-anggota militer Paratroep asal Ambon pulang kampung
dan mendarat di Ambon . Sebelumnya pasukan-pasukan ini ketika berada di
Makassar sudah terkontaminasi oleh Mr. Christiaan Soumokil, Jaksa Agung RIS
yang anti-RI melakukan provokasi kepada pasukan-pasukan khusus baret merah dan
hijau asal Ambon ini.
Kegiatan
provokasi yang dilakukan oleh Soumokil karena dibiarkan oleh Kolonel
Schotborgh, Komandan tentara Belanda di Makassar. Schotborgh juga menjadi
penyebab terjadinya kerusuhan di Makassar karena membiarkan Soumokil menghasut
Kapten Andi Azis melakukan aksi pemerontakan di Makassar .
Ambon
menjadi tegang dengan kembalinya pasukan-pasukan khusus asal Ambon yang
sebagaian besar terkena disersi, giat melakukan konfrontasi dengan barisan PIM
dari Pupella yang saling berlawanan. Konflik di Ambon pun tidak terhindar
ketika pada 19 Februari 1950 terjadi perkelahian antara anggota-anggota PIM
yang pro-Republik dengan anti-Republik yang di dukung oleh pasukan-pasukan
khusus ini. Pemerintah Ambon ketika itu berubah menjadi negara Polisi yang juga
berpihak pada kelompok anti-Republik. Dalam peristiwa berdarah ini menimbulkan
19 orang korban. Konflik kemudian menyebar dimana-mana tanpa bisa dicegah. Pada
12 Maret 1950, kepala desa Asilusu, Ibrahim Tangko, anggota PIM, di datangi 10
orang anggota polisi yang langsung mengeroyok dan menyiksanya. Begitu pula pada
17 Maret, di desa yang sama, Awat Betawi, juga anggota PIM didatangi
anggota-anggota polisi yang menyiksanya hingga pingsan.
Yang
tak kalah tragisnya adalah pada hari yang sama di desa Wakasihu, pimpinan PIM
setempat, Ohorella, dan ibunya juga harus mengalami siksaan tidak manusiawi.
(Teu Lususina, Ambon )
B.
RMS di dirikan
Di
Ambon mulai muncul desas-desus bahwa wilayah Indonesia Timur sudah di kuasai
oleh pasukan Jawa (baca APRIS), dan menurut rencana pasukan TNI dari Jawa akan
menyerbu Ambon pada akhir Maret. Desas-desus ini menimbulkan kepanikan,
terutama di kalangan pemerintahan dan kalangan fungsionaris pedesaan. Kemudian
pada 5 April muncul berita yang sangat menyenang pemimpin-pemimpin
anti-Republik bahwa pasukan TNI dari Batalyon Worang akan memasuki kota
Makassar . Tak lama kemudian tersiar berita bahwa seorang Kapten Bugis muda,
bernama Andi Azis bersama batalyonnya telah menduduki kota Makassar dalam usaha
untuk mempertahankan kota ini dari serbuan Batalyon Mayor H V Worang. Aksi
pemberontakan Andi Azis di Makassar di ikuti dengan seksama dan penuh kecemasan
oleh kalangan anti-Republik di Ambon . Situasi Ambon menjadi tak menentu ketika
mengetahui Andi Azis sudah ditangkap dan Makassar sudah aman dari
pemeberontakan setelah Kolonel Alex Kawilarang di angkat menjadi Panglima
territorial Indonesia Timur.
Pada
18 April 1950, J A Manusama, yang ketika itu menjabat direktur urusan
sekolah-sekolah menengah di Ambon, memprakarsai rapat umum di Ambon untuk
menenangkan keadaan. Pada 21 April terdengar kabar bahwa Andi Azis dengan resmi
menjadi tahanan. Sebelumnya ia datang ke Jakarta yang katanya di janjikan akan
dibebaskan bila melapor kepada pemerintah.
Penahanan
Andi Azis membuat para pemimpin RMS melakukan pertemuan khusus membahas situasi
dan keadaan di Indonesia Timur. Dari pertemuan itu muncul ide pemisahan diri
dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada
23 April 1950, Sersan Mayor (KNIL) Ibrahim Ohorella, Sersan Mayor Sapulete bersama
Ir Manusama memprakarsai pertemuan dengan wakil-wakil militer, polisi dan sipil
untuk melakukan persiapan dan menyusun konsep kemerdekaan Maluku Selatan
terlepas dari Republik Indonesia Serikat dengan mencetuskan proklamasi Republik
Maluku Selatan. Pada esok harinya, konsep ini diajukan untuk mendapat
persetujuan dari Kongres Rakyat yang berlangsung di gedung pemerintah di
Batugadjah dan dihadiri sekitar 6000 pengunjung, yang secara aklamasi
disetujui.
Konsep
proklamasi itu kemudian di bacakan pada 25 April 1950 dan di tandatangani oleh
J H Manuhutu dan A Wairizal.
Teks
proklamasi RMS berbunyi:
Proklamasi
Kemerdekaan
Maluku Selatan
Memenuhi
kemauan jang sungguh, tuntuan dan desakan rakjat Maluku Selatan, Maka dengan
ini kami proklamir KEMERDEKAAN MALUKU SELATAN, defakto dejure, Yang berbentuk
Republik, lepas dari dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara
Indonesia Timur dan RIS, beralasan NIT sudah tidak sanggup mempertahankan
Kedudukannya sebagai Negara Bahagian selaras dengan peraturan2 Mutamar Denpasar
Jang
masih sjah berlaku, djuga sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan
Tertanggal 11 Maret 1947, sedang RIS sudah bertindak bertentangan dengan
Keputusan2 KMB dan Undang2 Dasarnya sendiri.
Ambon,
25 April 1950 – Pemerintah Maluku-Selatan,
J H Manuhutu
A Wairizal
Pada
2 Mei 1950, di atas gedung pemerintah, berkibar bendera nasional RMS empat
warna, biru-putih, hijau dan merah dari hasil kesepakatan pemuka-pemuka desa
(raja-raja).
C.
Angkatan Perang
RMS dibentuk
Pada
9 Mei di Ambon oleh tentara-tentara eks KNIL dengan menggunakan cara tentara
Belanda mendirikan Angkatan Perang Republik Maluku Selatan (APRMS). Kekuatan
ini di topang oleh barisan sukarela yang umumnya terdiri dari anak-anak muda
usia 16 tahun keatas yang militant dan fanatic mempertahankan RMS. Pada Juni
1950 pucuk pimpinan APRMS dibentuk yang terdiri dari Sersan Mayor Samson
sebagai Panglima dan Sersan-Mayor Pattiwael sebagai Kepala Staf APRMS.
Anggota-anggota Staf antara lain adalah Sersan-Mayor Kastanja dan Sersan Mayor
Pieter dan Sersan Aipassa. Kesemua mereka ini adalah prajurit-prajurit KNIL tua
yang kemudian mendapat pangkat dari Kolonel hingga Mayor.
Pulau
Seram juga mendapat tempat sebagai basis pertahanan, hingga juga terbentuk
satuan kekuatan militer dengan sebutan Tentara Panah terdiri dari sekitar 10.000 orang.
Ketika
RMS diproklamirkan, beberapa minggu kemudian, diantara serdadu-serdadu KNIL
asal Maluku memasuki APRMS dan jumlahnya berkisar 4.000 personal dan
melikuidasi dari garnisun di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.
Mereka
menyatakan solider dengan RMS dan menolak di pindahkan ke APRIS, untuk itu
menuntut di demobilisasi dan di pindahkan di daerah-daerah non-RIS, apakah di
wilayah RMS ataupun di Papua.
Tuntutan
mereka ini ditolak oleh Belanda yang tidak mau lagi direpotkan setelah
peristiwa pemberontakan Andi Azis yang dilakukan oleh kalangan militer KNIL
asal Ambon di Makassar. Untuk itu banyak diantara pasukan KNIL asal Ambon di
Makassar di evakuasi ke Jawa, dan disana mereka di kosentrasikan pada 5 daerah
garnisun, masing-masing: Jakarta , Bandung , Surabaya , Malang dan Semarang .
Merekapun
mendapat pilihan, demobilisasi di Jawa atau ikut bersama APRIS membebaskan
Maluku dari RMS.
Yang
menolak, hingga pada kelima garnisun itu dibentuk panitia untuk melayani dan
mengatasi mereka yang membangkang.
Untuk
mengatasi keadaan, pihak militer Belanda melakukan pendekatan dengan Perwakilan
Rakyat Maluku, hingga satu delegasi di pimpin Sersan-Mayor Aponno di kirim ke
Negeri Belanda untuk berunding dengan pemerintah Belanda.
Ketika
pada 26 Juli 1950, KNIL secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda, yang
sehari sebelumnya, semua personal eks KNIL diberhentikan. Walau begitu ke-4000
pasukan pembangkang yang pro RMS berada di bawah tanggung jawab militer
Belanda. Pemerintah Belanda melarang dilakukannya demobilisasi di wilayah
Indonesia bagi para pembangkang. Untuk mengatasinya, tidak ada pilihan, yakni
mengangkut mereka ke Negeri Belanda, dengan beaya satu juta gulden untuk setiap
kapal. Untuk itu, oleh pemerintah Belanda yang tidak mendukung ataupun mengakui
RMS menekan delegasi Aponno di tekan untuk menerima putusan ini, dan tidak
dibenarkan dikembalikan ke Ambon .
Sebagai
hasilnya pada bulan Maret/April 1951, prajurit-prajurit eks KNIL di berangkatan
ke Negeri Belanda terdiri dari: 6 pendeta militer; 3 perwira ajudan; 35
sersan-mayor; 372 sersan dan fourier; 821 kopral dan 2341 serdadu. Secara
keseluruhan bersama isteri-isteri dan anak-anak berjumlah 12.500 orang.
Pada
8 Juni 1950 diputuskan untuk membentuk Perwakilan RMS di Luar Negeri.
Sebelumnya, pada 27 April 1950 pihak RMS menunjuk dr J P Nikijuluw sebagai
pimpinan perwakilan RMS di luar negeri dengan P W Lokollo sebagai Wakilnya
dibantu Komisaris pemerintah, I A Lebelauw. Ketiga mereka ini berada di Negeri
Belanda.
Pada
16 Oktober 1950 pihak RMS mengirim kawat kepada dr Nikijuluw dan memberi kuasa
sebagai delegasi RMS ke Dewan Keamanan PBB dan menunggu laporan dari pihak UNCI
mengenai “Masalah RMS†yang katanya akan di kirim ke Dewan Keamanan. Sebulan sebelumnya
pada 4 September 1950, dalam sidang Parlemen
RMS di Ambon ditetapkan pada pasal I UUD RMS berbunyi: “Republik Maluku
Selatan adalah Negara sah, yang bebas dan merdeka sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi.†(Bung
Penonton: De Zuid Molluksi Republiek, 1977).
Departemen
Luar Negeri RMS di Ambon mengeluarkan pernyataan yang isinya mengatakan:
RMS
sedang berusaha berhubungan dengan Amerika Serikat, terutama dengan Australia
untuk berembuk dalam usaha untuk melakukan Pertahanan dan keamanan bersama di
Pasifik-Selatan menghadapi kemungkinan ancaman agresi komunis. Untuk hal itu,
RMS berusaha menghubungi AS ataupun Australia dengan menawarkan beberapa tempat
strategis bagi penempatan pangkalan-pangkalan militer dan penempatan kekuatan
armada-armada laut mereka.â€
Pernyataan
ini mendapat kecaman dari Urbanus Pupella yang mengatakan merupakan
pengkhianatan terhadap rakyat Maluku.
Pada
15 Juli 1950 pihak pimpinan RMS mengatakan, negara dalam darurat, Staat van
Oorlog en Beleg (SOB) untuk seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
Tetapi
pada 8 Agustus 1950, secara resmi pemerintah RMS membentuk Dewan Parlemen
Sementara. Dewan ini terdiri dari 75 anggota, terdiri dari 60 kepala-kepala
desa dan 15 orang-orang yang dikenal masyarakat. W A Lokollo di tunjuk menjadi
ketua menggantikan S Tjokro dari PIM.
Selanjutnya
RMS menjadi negara Polisi di pimpin oleh Komisaris H J Malaiholo yang tak lama
kemudian meninggal dan kedudukannya diganti oleh seseorang bernama Filippus
yang memimpin intelijen militer. Selain itu juga dibentuk Dewan Konstitusi yang
mulai aktif pada 4 September 1950.
Beberapa
tahun kemudian ketika mereka di adili Wairizal dan Manuhutu oleh Pengadilan
militer Indonesia , kedua mereka ini mengakui bahwa mereka dipaksa untuk
menandatangani teks proklamasi ini. Dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan,
ternyata tidak satupun secara bulat terjadi persetujuan dibentuknya RMS oleh
kalangan masyarakat Maluku sendiri. (Ernst Utrecht).
2.
USAHA YANG DILAKUKAN
A. Misi Perdamaian Leimena yang gagal
Waktu
itu Kementerian Pertahanan belum lama mengangkat Kolonel Alex Kawilarang
sebagai Panglima TT-IT. Selain sibuk melakukan organisasi militer untuk
ekspedisi, juga giat menghadapi pemberontakan oleh pasukan-pasukan KNIL disersi
asal Maluku di Makassar. Sambil merampungkan organisasi APRIS yang untuk
pertama kali melakukan ekspedisi di luar Jawa, dan mengatasi aksi militer eks
KNIL di Sulawesi Selatan, pemerintah Jakarta mengutus misi perdamaian ke Maluku
pimpinan dr Leimena ke Ambon dengan maksud melakukan pendekatan dengan
gembong-gembong RMS.
Menteri
Republik Leimena di dampingi, ahli medis dari Surabaya, dr C A Rehatta, Ir
Putuhena, dan Menteri Penerangan Federal, Peloepessy.
Pada
1 Mei 1950, dengan kapal korvet Hang Tuah milik ALRI rombongan misi perdamaian
ini berangkat ke Ambon . Kepergian mereka ditehui oleh pimpinan RMS, dan
mengirim kawat ke Jakarta , bersedia berunding tidak di kapal, tetapi melalui
komisi internasional.
Balasan
kawat ini tidak ditanggapi oleh Jakarta dan kapal Hang Tuah sudah terlihat
berlabuh di Teluk Ambon. RMS mengeluarkan syarat bila mengirim delegasinya ke
kapal.
Pada
6 Mei 1950, Kantor-berita Antara melaporkan mengenai misi Leimena sebga(i
berikut: “ Makassar , 5 Mei 1950. Seperti telah diberitakan mengenai
“Misi-Ambon†pimpinan Dr Leimena, yang pada hari Kamis jam 11 malam telah tiba di
Makassar .
Pada
Jum’at pagi Dr Leimena pada jumpa pers mengatakan bahwa kapal “Hang Tuah†yang membawa
rombongan misi hanya berada kurang dari satu jam di Teluk Ambon, dan berlabuh
dekat mercu suar.
Syahbandar
pelabuhan Ambon yang bertindak sebagai pengubung membawa surat dari pimpinan
“Pemerintah Maluku Selatan’ yang diminta agar misi ini langsung menjawab.
Tetapi tak sampai satu jam, sebelum pihak misi damai dapat menjawab surat itu,
syahbandar itu langsung di panggil oleh orang-orang di darat untuk kembali ke
darat.
Pada
surat itu pihak RMS mengatakan mengusulkan agar dalam perundingan itu,
menempatkan RMS sebagai negara yang berdaulata, yang tidak mungkin dapat
dilakukan oleh misi RIS.
Leimena
sangat kecewa dengan sikap ‘saudara-saudara Ambon ’ ini, dan mengatakan:
“Padahal misi ini adalah antara sesame “Putra Bangsa†untuk sama-sama
berembuk dan mengatasi permasalahan secara damai.â€
Waktu
syahbandar kembali ke darat, terlihat jelas dari korvet, pejabat itu dipukuli
sampai babak belur oleh prajurit KNIL dari pasukan “Baret Hijau.â€
Peristiwa
perlakuan pejabat-pejabat RMS ini sangat menyayat hati Leimena dan kawan-kawan
sesama asal Ambon . Karena yang dihadapinya adalah orang-orang dungu yang buta
politik yang membawa derita terhadap masyarakat banyak di Maluku.
Walau
begitu, Dr. Leimena masih berusaha melakukan pendekatan dan meminta kapal
“Hang Tuah†berlayar
ke Saparua dengan maksud untuk menemui Manus Pattiradjawane, pimpinan setempat. Tetapi disana juga pihak
penguasa RMS di Saparua melarang kapal merapat. Padahal Pattiradjawane adalah
saudara ipar dari Gubernur Maluku, Johannes Latuharhary, namun ikatan keluarga
tidak meluluhkan kekerasan sikap RMS hingga memutuskan tali persaudaraan.
B. Blunder dari Radio RRI Jakarta
Masih
lagi di coba untuk melakukan pendekatan dengan pengadaan misi damai kedua.
Tetapi ini pun gagal sebelum di mulai.
Hal
ini terjadi oleh siaran dari Radio RRI di Jakarta yang kurang di awasi. Waktu
itu diumumkan tentang percobaan pengiriman misi perdamaian kedua.
Tetapi
sang penyiar mengakhiri siaran itu dengan menggunakan kata “ancaman†jika misi kedua
ini tidak diterima, akan di daratkan 15.000 tentara TNI. Perkataan
“ancaman†pada siaran itu secara
psikologis merupakan kesalahan besar. Karena ketika itu TNI sama sekali belum
punya persiapan untuk mendarat.
Dan,
benar saja, beberapa hari kemudian, Radio “RMS†mengumumkan,
mereka tidak gentar sekalipun 150.000 tentara TNI akan mendarat. Karena waktu itu Panglima TT-IT sedang sibuk
menempatkan pasukan-pasukan TNI di tempat-tempat yang perlu di seluruh pulau
Sulawesi, Morotai dan Ternate (Maluku Utara), pulau-pulau Nusatenggara dari
Bali sampai Timur. Juga di Tamimbar, Aru dan Kei di Maluku Selatan. Di tempat-tempat
ini keadaan aman, kecuali di kota Makassar .
Sesudah
peristiwa pertempuran bulan Mei 1950, terasa sekali keadaan masih eksplosif.
Selama
pasukan KNIL asal Ambon masih bersenjata dan memperlihatkan sikap provokatif,
Komandan Sektor Makassar, Letkol Soeharto harus siaga 24 jam sehari dengan
sebagian dari pasukannya terhadap suatu serangan mendadak. Untuk menyelesaikan
masalah RMS, perlu di datangkan pasukan baru dari Jawa, dan di kirim batalyon
Mayor Soeradji dan batalyon Mayor Pelupessy. (Alex Kawilarang: Untuk Sang Merah
Putih, 1988).
Blokade
Laut APRIS dan kegagalan misi Schotborgh mengendalikan Tentara KNIL
Manusama
pada bukunya, Om Recht en Vrijheid mengungkapkan bahwa kegagalan misi
perdamaian Leimena berlanjut dengan rencana pemerintah Jakarta melakukan aksi
blokade laut terhadap RMS. Tetapi karena di Ambon terdapat orang-orang Belanda,
hingga pemerintah RIS menghubungi Komisariat Tinggi Belanda di Jakarta untuk
mengorganisir proses evakuasi.
Pada
8 Mei 1950 di Ambon datang dua misi Belanda; misi sipil oleh Van Hoogstraten
dan Deinse, misi militer pimpinan Kolonel Schotborgh. Kedua misi ini bertujuan
melakukan evakuasi terhadap militer, ambtenaren dan orang-orang sipil Belanda.
Pihak RMS membantu misi-misi ini dengan lancar hingga kesemua warga negara
Belanda ini berangkat dengan kapal Kota Intan
dari Ambon menuju Jakarta . Tugas Kolonel Schotborgh tak hanya berurusan
dengan evakuasi, tetapi juga harus mencegah agar pasukan pasukan eks KNIL dari
Ambon tidak terlibat dengan urusan Republik Maluku Selatan, yang merupakan
instruksi langsung dari Panglima tentara Belanda di Jakarta, memerintahkan
semua tentara KNIL di konsinyir dan masuk tangsi-tangsi militer.
Mereka
yang melanggar akan menerima sangsi akan di peact dan semua hak-haknya di
cabut, demikian Kantor Berita Aneta. Tetapi usaha Schotborgh sebagai Komandan
Teritorial Indonesia Timur dengan mendekati dan meyakinkan tentara-tentara KNIL
asal Ambon tidak membawa hasil. Bahkan sebagian besar dari mereka ini langsung
mundur dari dinas KNIL dan mendaftarkan diri menjadi tentara RMS.
C. APRIS Mulai Memerangi RMS
Setelah
memperoleh jumlah pasukan yang cukup, Panglima Kawilarang mulai menggerakan
kekuatan APRIS menuju perairan Maluku di minggu keempat bulan Mei. Sasaran
pertama adalah pendaratan di pulau Buru dan Seram Selatan. Dengan taktik
demikian, pusat RMS di Ambon lambat laun terisolasi.
Lagi
pula, jika LCI sudah kandas dekat pantai, tentara hanya bisa
mendarat seorang demi seorang lewat
dua jembatan sempit sebelah kiri dan kanan dari bagian muka LCI.
Dalam
bukunya, Kawilarang mengatakan: “Sebelum mendarat di Pulau Buru dan Seram
kami perlu mengadakan latihan pendaratan dengan LCI di suatu pulau dekat
Makassar . Latihan ini antara lain diadakan dengan dua kompani dari Bataltyon
Suradji yang direncanakan akan mendarat dulu di Buru. Waktu LCI kandas dan kami
turun, air laut sampai dada saya. Kapten Leo Lopulisa dan Mayor laut Alex
Langkay malahan masuk laut yang lebih dalam lagi. Belum lagi prajurit-prajurit
dari Batalyon Suradji. Waktu sedang melangkah ke darat, saya dengar seorang
prajurit sambil batuk berteriak pada temannya, “Lho, air laut asin.†Jangan heran,
mereka datang dari Solo, belum pernah masuk laut. Tetapi saya juga berpikir,
pasukan pendaratan ini belum benar-benar merupakan seaborne forces.â€
Sesudah
empat hari berlayar dari Makassar, pasukan APRIS tiba di utara Pulau Buru
pertengahan Juli 1950. Ombak tinggi sekali dan hampir seluruh seaborne force,
yaitu Batalyon Pelupessy dan dua kompani Batalyon Soeradji, mabuk laut. Maklum
hanya dengan dua LCI dan satu LST (Landing Ship Tanks). Di utara Buru mereka
rendez-vous (berkumpul) dengan kapal Waikelo yang membawa Batalyon 3 Mei
pimpinan Mayor Mengko dari Manado .
Esok
harinya dua kompani Batalyon Suradji mendarat dahulu kira-kira lima kilometer
sebelah barat Namlea. Tidak ada perlawanan. Menyusul pendaratan Batalyon
Pelupessy yang akan maju ke Namlea. Ternyata pasukan ini mendapat hadangan dan
menderita korban.
Selain
itu hampir seluruh pasukan merasa lemas. Karena pada umumnya selama empat hari
muntah-muntah. Waktu pendaratan, “ransom†makan, berupa biscuit laut untuk dua hari,
basah dan tak bisa dimakan.
Kawilarang
putuskan, supaya Batalyon 3 Mei, yang masih segar dan sehat karena diangkut
dengan kapal besar Waikelo, untuk menyerbu Namlea. Hal ini terjadi di pagi
hari, pada hari ketiga. Pada serangan ini Prajurit Banteng jatuh sebagai korban
pertama dan Sersan Mayor Tandayu luka. Senjata-senjata yang ditinggalkan di markas
RMS antara lain berupa beberapa brengun. Pasukan penyerbu sangat hati-hati
mendekati markas dan gudang RMS itu. Ternyata tidak ada booby trap.
Keesokan
hari tiba dengan kapal korvet, Letkol Slamet Rijadi, Komandan Pasukan Maluku.
Iapun gembira karena bertemu dengan Mayor Soeradji, bekas bawahannya.
Disamping
itu, datang juga Kapten M Jusuf yang akan menjadi ajudan Panglima Kawilarang.
Kemudian di rencanakan untuk menduduki Piru dahulu oleh Batalyon 3 Mei.
Kota
Piru di dekati dari dua jurusan. Waktu sore hari tiba di sana , pasukan RMS
sudah mengosongkannya. Sebelumnya dikirimkan tiga orang tentara eks RMS yang di
tawan ke sana untuk meyakinkan pasukan RMS supaya bergabung dengan APRIS atau
menyerah. Ternyata waktu Piru di duduki, ketiga orang itu sudah di tembak mati
oleh komandan pasukan RMS di Piru, Nussy. Salah seorang yang dibunuh malahan
Lestiluhu, komandan pasukan RMS di Buru, yang ditawan pasukan APRIS di Namlea.
Ia adalah anggota Baret Hijau punya banyak teman di Batalyon 3 Mei, dimansa
satu peleton juga terdiri atas bekas anggota Baret Hijau dan Baret Merah. Dua
hari kemudian pasukan APRIS mendarat di teluk, kira-kira tiga kilometer sebelah
utara Amahai, dengan dua kompani dari Batalyon Soeradji. Letkol Slamet Rijadi
selalu berada di depan. Sesudah pertempuran kurang lebih dua jam, Amahai pun di
duduki. Letkol Slamet Rijadi sebagai komandan pasukan Maluku, sementara kepala
staf Mayor Herman Pieters mengkonsolidasi pasukannya. Juga dikepulauan Banda
dan bagian selatan Pulau Seram sudah di kuasai pasukan APRIS. Batalyon Abdullah
sudah menempatkan pasukan APRIS di kepulauan Tamimbar, Kei, Aru hingga
kepulauan Geser dan beberapa tempat di Seram Selatan. Mayor Abdullah gugur
dalam salah satu pendaratan di Seram Selatan. Ternyata pasukan RMS dapat menyeberangkan
sebagian pasukannya dengan perahu-perahu ke Pulau Seram dan menyerang Amahai.
Tetapi serangan ini dapat di patahkan oleh pasukan Mayor Soeradji.
Pertempuran
empat hari di Makassar (5-9 Agustus) sempat memperlambat operasi militer APRIS
ke Ambon selama sekitar satu bulan, sementara pasukan tambahan dari Jawa sudah
berdatangan. Rencana penyerbuan selanjutnya adalah mendaratkan pasukan di
Hitulama-Hitumesing , di utara pulau Ambon, dan pasukan lain di Tulehu dibagian
timur dan sesudah dua pasukan bertemu di Paso, menyerang kota Ambon dari utara
dan ada lagi pasukan lain yang akan menduduki lapangan terbang di sebelah barat
pulau Ambon .
Yang
akan mendarat di Hitulama dan Hitumesing adalah pasukan Mayor Jusmin dengan di
pimpin oleh Letkol Soediarto. Pasukan 3 Mei pimpinan Mayor Mengko akan mendarat
di Tuleho.
Dalam
pendaratan di Tuleho, Letkol Slamet Rijadi mendarat di sebelah selatan Tuleho
dan Kolonel Kawilarang bersama Kapten Jusuf, Leo Lopulisa, Joost Muskita dan
Kapten Claproth di sebelah utara Tulehu. Untuk pendaratan itu, APRIS sudah
terima 10 LCM. Enam LCM akan digunakan untuk Tulehu dan empat lainnya untuk
Hitu.
Alex
Mamusung, merupakan wartawan foto perang dari Indonesia Press Photo Service
(Ipphos) yang turut meliput operasi penumpasan RMS melalui lensa foto sangat
bermanfaat mengisi lembaran sejarah.
Sejak
pertempuran- pertempuran di Makassar, Buru, Piru, Amahai dan Ambon ia selalu
ikut meliput dan mendokumentasi secara visual.
Dari
hasil karya foto, wartawan foto perang ini pada 17 Agustus 195, ia dianugerahi
bintang oleh Pemerintah Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Comments
Post a Comment
Mari berkomentar dengan baik dan bijak.....