Hukum Berobat
Suatu kaidah penting yang harus diyakini adalah setiap penyakit pasti ada obatnya sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan akan menurunkan pula obat untuk penyakit tersebut" (HR al-Bukhari)
Lantas sejatinya bagaimanakah hukum dalam berobat?
Ketika kita membahas sebuah hukum berobat, maka kita tidak akan jauh dari prinsip keimanan kepada takdir yang baik dan takdir yang buruk, dan juga kita akan sedikit menyinggung tentang ikhtiar dan tawakal
Syekh Muhammad bin sholih Al utsaimin menjelaskan di dalam syaroh Al mumti bahwa ada tiga hal mengenai hukum berobat
Yang pertama, jika memang dalam berobat itu diketahui benar-benar manfaatnya, terdapat sangkaan atau dugaan kuat adanya manfaat dari sebuah pengobatan, atau terdapat kemungkinan timbulnya bahaya jika meninggalkannya, maka hukum berobat dalam hal ini adalah wajib
Sebagai contoh, misalnya seorang suami yang terkena penyakit untuk menghalanginya berhubungan badan dengan istrinya, sedangkan ada obat yang mujarab diketahui, dan bila tidak melakukan perhubungan itu maka istrinya tidak terpenuhi kebutuhan biologisnya, bisa juga istrinya terjerumus dalam perbuatan keji dan mungkar, maka sang suami wajib hukumnya untuk berobat
Hal yang kedua, jika dalam pengobatan itu terdapat sangkaan kuat adanya manfaat suatu pengobatan, tetapi tidak ada bahaya nyata jika tidak berobat, maka hukum berobat dalam hal ini sunnah atau mubah. Hal ini tidak lepas dari adanya sebuah kisah yang dijelaskan di dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim tentang seorang Shahabiyah yang memiliki penyakit
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menceritakan:
Wanita yang berkulit hitam ini, dulu mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari berkata,
إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي
“Aku terkena penyakit gila (ayan). Aku khawatir auratku tersingkap karenanya. Tolong berdoalah untuk kebaikanku.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (kala itu) menjawab:
إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ
“Kalau engkau mau, bersabarlah saja (dengan penyakit itu), maka engkau akan memperoleh surga. Kalau tidak, aku akan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya menyembuhkanmu“.
Ia menyahut:
أَصْبِرُ فَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ
“Saya mau bersabar saja. (Tetapi) aku khawatir auratku terlihat (oleh manusia). Karena itu, berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya auratku tidak tersingkap,” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk memenuhi permintaan yang ia perlukan itu. [HR al-Bukhâri, hadits no.5652. Lihat Fat-hul-Bâri, 13/23].
Demikian, salah satu bentuk kesabaran seorang sahabat, sehingga membuahkan surga. Dan dari kisah Ummu Zufar al-Habasyiyyah ini, dapat diambil beberapa pelajaran. [Fat-hul-Bâri (13/25].
• Keutamaan seseorang yang terkena penyakit gila (ayan), bila ia bersabar.
• Kesabaran menghadapi musibah dan malapetaka di dunia dapat mendatangkan jannah.
• Mengambil keputusan yang berat lebih afdhal (utama) daripada memilih rukhshah bagi seorang yang mengetahui dirinya mampu untuk melakukannya dan tidak lemah (malas).
• Hadits atau riwayat ini juga mengandung dasar (dalil) diperbolehkan tidak berobat bagi seseorang yang sakit.
• Pengobatan sesuatu penyakit dengan doa dan iltijâ`-ilallah (bersimpuh’ di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala ) lebih mujarab dan bermanfaat, dibandingkan dengan pengobatan secara medis. Pengaruh dan reaksinya terhadap ketahanan tubuh lebih kuat daripada obat-obat konvensional.
Hukum yang terakhir, yang dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Sholeh Al utsaimin yaitu jika antara berobat dan tidak berobat mempunyai kemungkinan yang sama, maka lebih baik ditinggalkan, tidak perlu untuk berobat, agar seseorang tidak menjerumuskan dirinya sendiri dalam bahaya yang tanpa dia sadari.
Lebih lanjut, pada hakekatnya pengobatan atau usaha berobat itu sebuah ikhtiar, setelah itu harus disertai dengan tawakal. Para ulama menjelaskan bahwa ada dua hal yang harus terpenuhi dalam konsep tawakal pertama yaitu bersandar kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang dengan sebenar-benarnya, dan yang kedua yaitu melakukan sebab-sebab atau usaha yang diizinkan oleh syariat.
Barang siapa yang lebih bersandar kepada sebab, maka kuranglah tawakalnya kepada Allah.
Adapun yang orang bersandar hanya kepada Allah saja, tanpa melakukan sebab, maka ini merupakan celaan hikmah atau kebijaksanaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjadikan sebab untuk segala sesuatu
Sebagai contoh orang yang Bersandar kepada Allah untuk memiliki anak tetapi dia tidak mau menikah maka jelas ini adalah sebuah celaan terhadap kebijaksanaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Mungkin, ada beberapa teman-teman yang bertanya tentang sebuah hadits panjang mengenai 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dikarenakan orang itu tidak melakukan tatayur tidak meminta agar di ruqyah dan tidak meminta dikait dan hanya kepada rohnya mereka bertawakal
Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa sallam bahwa beliau berkata:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّونَ مَعَهُمْ الرَّهْطُ وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ حَتَّى رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ قُلْتُ مَا هَذَا ؟ أُمَّتِي هَذِهِ ؟ قِيلَ بَلْ هَذَا مُوسَى وَقَوْمُهُ ، قِيلَ انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ فَإِذَا سَوَادٌ يَمْلأُ الأُفُقَ ثُمَّ قِيلَ لِي انْظُرْ هَا هُنَا وَهَا هُنَا فِي آفَاقِ السَّمَاءِ فَإِذَا سَوَادٌ قَدْ مَلأَ الأُفُقَ قِيلَ هَذِهِ أُمَّتُكَ وَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ هَؤُلاءِ سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ ثُمَّ دَخَلَ وَلَمْ يُبَيِّنْ لَهُمْ فَأَفَاضَ الْقَوْمُ وَقَالُوا نَحْنُ الَّذِينَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاتَّبَعْنَا رَسُولَهُ فَنَحْنُ هُمْ أَوْ أَوْلادُنَا الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الإِسْلامِ فَإِنَّا وُلِدْنَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ ؟ فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ فَقَالَ : هُمْ الَّذِينَ لا يَسْتَرْقُونَ وَلا يَتَطَيَّرُونَ وَلا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ .. “. رواه البخاري 5270
“Ditampakkan beberapa umat kepadaku, maka ada seorang nabi atau dua orang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh antara 3-9 orang. Ada pula seorang nabi yang tidak punya pengikut seorangpun, sampai ditampakkan kepadaku sejumlah besar. Aku pun bertanya apakah ini? Apakah ini ummatku? Maka ada yang menjawab: ‘Ini adalah Musa dan kaumnya,’ lalu dikatakan, ‘Perhatikanlah ke ufuk.’ Maka tiba-tiba ada sejumlah besar manusia memenuhi ufuk kemudian dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke sana dan ke sana di ufuk langit.’ Maka tiba-tiba ada sejumlah orang telah memenuhi ufuk. Ada yang berkata, ‘Inilah ummatmu, di antara mereka akan ada yang akan masuk surga tanpa hisab sejumlah 70.000 orang. Kemudian Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa sallam masuk tanpa menjelaskan hal itu kepada para shahabat. Maka para shahabat pun membicarakan tentang 70.000 orang itu. Mereka berkata, ‘Kita orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti rasul-Nya maka kitalah mereka itu atau anak-anak kita yang dilahirkan dalam Islam, sedangkan kita dilahirkan di masa jahiliyah.’ Maka sampailah hal itu kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa sallam, lalu beliau keluar dan berkata, ‘mereka adalah orang yang tidak minta diruqyah (dimanterai), tidak meramal nasib dan tidak mita di-kai, dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal.” [HR. Bukhari 8270]
Syekh Muhammad bin sholih Al husaimin menjelaskan beberapa maksud dari hadis tersebut, salah satunya adalah ketika seseorang meminta orang lain untuk meruqyah dirinya maka di situ dikhawatirkan ada unsur ketergantungan hati kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Hal ini kondisinya sama ketika seseorang berobat kepada dokter, thobib, ataupun siapapun, ditakutkan dia lebih bergantung kepada obatnya atau dokternya atau tabibnya, padahal seharusnya, yang sudah kita jelaskan tadi, bahwa ketika sudah berikhtiar dengan sebab maka kita harus bersandar juga kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
Hal inilah yang menyebabkan Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa meninggalkan berobat itu lebih utama.
Ibnu Al jauzi rahimahullah berkata, jika terbukti bahwa hukum berobat adalah mubah berdasarkan ijma, atau sunnah menurut pendapat sebagian ulama, kita tidak perlu memperhatikan pendapat sekelompok orang yang mengatakan bahwa berobat bertentangan dengan tawakal, karena ijma ulama ada yang mengatakan bahwa berobat itu tidak bertentangan dengan tawakal, ada pula hadis tentang perintah berobat.
Ada perintah untuk berobat karena berobat tidak bertentangan dengan tawakal sebagaimana menghilangkan rasa haus lapar panas atau dingin dengan lawannya, tidak bertentangan dengan tawakal
Bahkan hakikat tauhid tidak sempurna, kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang Allah Subhanahu Wa Ta'ala tetapkan, bisa mewujudkanmu sabar menurut syariat dan realitas.
Alla kulli hal, bahwa berobat itu sebuah sebab, kita harus mengambil sebab itu, namun kita tidak boleh menafikan atau melupakan tawakal kepada Allah.
Syekh Doktor Sholeh Al Fauzan mengatakan berobat baik yang berhukum mubah, sunnah, maupun wajib, tidaklah bertentangan dengan tawakal, karena sebagian orang-orang bodoh mengatakan "Jangan berobat dalam rangka bertawakal kepada Allah padahal hakikatnya berobat adalah sebab dan hal itu sudah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala"
Allahu a'lam
8 Februari 2025
Kamar Jaga Dokter ICU RSUD Batang
Ulul Albab
referensi
Thibbun Nabawi Tinjauan Syari'at dan Medis (M. Saifudin Hakim & Siti Aisyah Ismail)
Fath al-Bari
syaroh Al mumti
Zaadul Ma’aad, 4: 14
https://muslim.or.id/46144-hukum-berobat-dalam-tinjauan-syariat-bag-2.html
gambar : https://i0.wp.com/umsu.ac.id/berita/wp-content/uploads/2024/05/Cara-Berobat-Gratis-Tanpa-Uang-2024.jpg?fit=1024%2C683&ssl=1
Comments
Post a Comment
Mari berkomentar dengan baik dan bijak.....